Ethicaldigest

Rasa Lelah Penderita Kanker 2

Sitokin sebagai penyebab anemia

Anemia pada pasien kanker, terjadi karena adanya aktivasi sistim imun dan sistim inflamasi oleh keganasan. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistim imun dan inflamasi, seperti interferon, tumor necrosis factor dan interleukin 1 (IL-1), merupakan bahan-bahan yang merangsang untuk terjadinya anemia. Di samping itu, keganasan tersebut dapat mempunyai efek langsung untuk terjadinya anemia.

Pada penderita kanker hematologi didapati adanya kadar INF-γ dan neopterin, suatu petanda aktivasi imunitas seluler. Kadar neopterin berhubungan nyata dengan kadar INF-γ, dan berhubungan terbalik dengan hemoglobin dan zat besi. Hubungan ini menandakan adanya aktivasi imunitas seluler, dan mungkin adanya hubungan antara aktivasi makrofag dan anemia pada pasien ini. Konsentrasi INF-γ juga meningkat pada penyakit kronis lainnya, juga berhubungan dengan aktivitas penyakitnya.

Kadar TNF tergantung pada jenis keganasan dan aktivitasnya. Pasien dengan penyakit yang aktif, kadar TNF nya akan meningkat. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pajanan kronis terhadap TNF, dapat menyebabkan anemia. Pada penelitian klinis fase I, pasien yang diobati dengan TNF dilaporkan menderita anemia.

Interleukin-1 (IL-1), seperti juga TNF, adalah sitokin yang mempunyai kerja yang luas dalam proses respon imun dan inflamasi. Konsentrasi IL-1 juga meningkat pada arthritis rheumatoid dan penyakit kronis lain, yang dapat mencetuskan kondisi anemia (ACD = Anemia of Chronic Disease).

Masa sel darah merah secara normal ditentukan oleh kematian sel darah merah itu dan reproduksi sel darah merah. Pada orang normal, antara kematian dan produksi sel darah merah berlangsung seimbang. Pada anemia, produksi sel darah merah tidak secepat kematian sel darah merah. Yang paling penting adalah kegagalan relatif dari sumsum tulang, dalam meningkatkan produksi sel darah merah guna mengimbangi kecepatan kematian sel darah merah.

Mekanisme patogenik berikut dianggap bertanggung jawab pada terjadinya anemia, yang dimediasi oleh interleukin-1, interferon dan tumor necrosis factor.

  1. Gangguan pemakaian zat besi
  2. Penekanan terhadap sel progenitor eritrosit (sel darah merah).
  3. Produksi eritropoietin tidak memadai
  4. Pemendekan umur sel darah merah (eritrosit)

Gangguan pemakaian zat besi

Gambaran khas anemia karena penyakit kronis adalah rendahnya kadar zat besi serum, kemampuan pengikatan zat besi dan jenuh transferin. Sedangkan, kadar feritrin sebagai simpanan zat besi cukup adekuat. Pada penderita-penderita ini, ada hubungan terbalik antara hemoglobin  dengan feritrin dan dengan aktivasi imun seluler (IFN-γ, neopeptin), menandakan bahwa aktivasi makrofag mungkin turut mengganggu metabolism besi dan menimbulkan anemia.

Metabolisme besi tidak terganggu oleh IFN-γ saja, tapi juga oleh TNF. Sitokin lain yang mengganggu metabolism besi adalah IL-1. Sitokin ini mampu meningkatkan produksi feritrin, yang dapat bertindak sebagai perangkap terhadap zat besi, yang kemudian akan dipakai pada proses eritropoiesis (pembentukan sel darah merah).

Mekanisme lain yang juga bertanggung jawab terhadap gangguan metabolism besi, adalah adanya gangguan pada transferring factor pada sel darah merah. Eritroblas pada pasien asma karena penyakit kronis jumlahnya berkurang, dan TFR pada sel-sel tersebut afinitasnya terhadap transferrin menurun dibandingkan eritroblas orang normal. Pada keadaan infeksi, keganasan dan kelainan imunologis, IL-1, IL-6 dan TNF meningkatkan konsentrasi protein fase akut alfa1-antitripsin yang mampu menahan eritropoiesis, dengan cara mengganggu pengikatan transferinke TFR dan internalisasi kompleks TFR transferin.

Penekanan terhadap sel progenitor eritrosit

Mekanisme lain yang turut menciptakan anemia karena peyakit kronis, adalah penekanan terhadap sel progenitor eritrosit di sumsum tulang, sehingga eritropoiesis terganggu. INF-γ, IL-1 dan TNF menahan eritropoiesis in vitro mau pun in vivo. Ketiga sitokin ini, bekerja secara sinergis atau menguatkan kerja yang lain guna menekan eritropoiesis. Efek inhibisi dari IL-1 memerlukan adaya T limfosit yang diperantarai oleh  INF-γ, dan efek inhibisi dari TNF memerlukan adanya sel-sel stroma sumsum tulang yang diperantarai oleh INF-β. Efek inhibisi dari INF-γ pada CFU-E in vitro, dapat diperbaiki dengan eritropoietin dosis tinggi. Sedangkan efek supresi IL-1 dan TNF pada CFU, juga dapat diatasi dengan eritropoietin. Hasil ini menunjukkan bahwa efek eritropoietin pada penderita-penderita ini, sebagian dapat diatasi dengan efek supresi dari sitokin-sitokin ini pada sel progenitor eritrosit.

Produksi eritropoietin tidak memadai

Pada penderita anemia karena kanker, sel progenitor eritrosit memberikan respon yang baik terhadap Epo, tetapi respon Epo terhadap anemia mengalami gangguan. Telah banyak dilakukan penelitian pada pasien kanker yang mengalami anemia, tapi hasilnya masih saling bertentangan.

Pada pasien kanker, produksi Epo terganggu oleh tumor atau oleh terapi yang mengganggu fungsi ginjal. Terutama oleh obat kemoterapi yang menginhibisi sintesis rNA. Pada beberapa jenis kanker, ada yang mengalami penurunan respon terhadap Epo. Sehingga, defisinesi relatif Epo ini mungkin merupakan faktor yang ikut berkontribusi terhadap menurunnya eritropoiesis, yang berakibat pada terjadinya anemia pada kanker.

Gangguan respon Epo yang terlihat pada anemia yang dialami penderita kanker, mungkin sebagai akibat efek supresi dari IL-1 (α atau β) atau TNF terhadap sel-sel yang memproduksi Epo. Sitokin ini dapat menginhibisi produksi Epo pada kultur sel hepatoblastoma. Efek supresi IL1 dan TNF terhadap produksi Epo pada sel-sel hematoblastoma, terjadi pada tingkat mRNA Epo. Pada pasien dengan myeloma multiple dan penyakit Waldenstrom, supresi respon Epo juga diakibatkan oleh hiperviskositas darah. Pada pasien ini, kadar Epo berbanding terbalik dengan viskositas darah, dan turunnya kadar Epo bersama dengan peningkatan viskositas darah pararel dengan penurunan mRNA Epo ginjal.