Ethicaldigest

Kontroversi APE 3

Penggunaan Zat besi

Anemia pada pasien kanker, ditandai proses eritropoiesis yang tidak efektif, karena sejumlah faktor. Salah satunya metabolisme zat besi yang tidak normal. Defisiensi zat besi dapat terjadi dengan cepat pada pasien kanker, karena kehilangan darah atau kurangnya asupan dan gangguan penyerapan zat besi oleh saluran pencernaan. Bisa terjadi kegagalan fungsional, karena retensi terhadap zat besi pada makrofag dan penurunan ketersediaan zat besi untuk proses eritropoiesis, walau simpanan zat besi di sistim retikuloendotelial mencukupi.

Protein fase akut hepcidin saat ini dianggap sebagai biang keladi, dari gangguan metabolisme zat besi, karena menyebabkan penurunan penyerapan zat besi di usus dan pelepasan zat besi oleh makrofag. Sitokin dilepaskan dalam proses inflamasi, terutama IL-6, mampu meningkatkan produksi hepcidin dan berakibat pada penurunan jumlah zat besi dalam sirkulasi darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemoterapi meningkatkan produksi sitokin inflamasi, termasuk IL-6. Selain akibat yang telah disebutkan, mekanisme lain yang berkontribusi terhadap defisiensi zat besi pada pasien kanker adalah rendahnya bioavailbilitas dari zat besi oral.

Defisiensi zat besi pada pasien kanker, utamanya ditandai oleh rendahnya transferrin saturation (TfSat) [<20%] dan rendahnya reticulocyte hemoglobin content (CHr) [<26 pg/sel]. Serum ferritin dapat meningkat pada pasien kanker. Meski demikian, nilai serum ferritin kurang dari 15 ng/ml, sangat spesifik untuk mendeteksi defisiensi zat besi, walau sensitifitasnya rendah.

Satu penelitian mengevaluasi parameter hematologi pada pasien dengan kanker, yang akan mulai pengobatan dengan EPO; 17% pasien memiliki kadar ferritin serum kurang dari 100 ng/ml, 59% memiliki TfSat kurang dari 20% dan  27% memiliki CHr kurang dari 32 g/dl. The National Comprehensive Cancer Network (NCCN) merekomendasikan suplementasi zat besi pada semua pasien dengan kanker, yang memiliki defisiensi zat besi absolut ditentukan dengan kadar ferritrin serum kurang dari 15%, sebagaimana mereka dengan defisiensi zat besi relatif; ditandai kadar ferritrin serum kurang dari 800 ng/ml danTfSat kurang dari 20%.

Karena metabolisme zat besi yang tidak normal dan rendahnya kepatuhan penggunaan zat besi oral, pemberian zat besi secara intravena pada onkologi klinis telah mendapat perhatian. Pilihan yang ada adalah iron dextran, iron saccharate dan ferric gluconate. Karena yang satu tidak lebih baik dari yang lain, iron saccharate dan ferric gluconate dianggap lebih aman dan digunakan lebih sering.

Beberapa penelitian acak telah mengevaluasi manfaat pemberian zat besi intravena, dihubungkan dengan penggunaan APE. Auerbach dan rekan mengevaluasi penggunaan zat besi, terkait dengan penggunaan EPO pada 157 pasien kanker yang mendapat kemoterapi, dan yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari atau setara dengan 10,5 g/dl dihubungkan dengan kadar feritrin serum kurang dari, atau setara dengan 200 mg/dl atau TfSat kurang dari atau setara dengan 19%.

Peningkatan kadar hemoglobin lebih tinggi pada pasien yang mendapat zat besi, terutama dalam bentuk intravena. Pasien-pasien ini juga menunjukkan perbaikan kualitas hidup yang signifikan, setelah pemberian suplementasi zat besi. Pada penelitian lain, 187 pasien kemoterapi dan memiliki kadar ferritrin serum > 100 ng/dl atau TfSat> 15%, secara acak diberi EPO tanpa zat besi, zat besi oral atau zat besi intravena. Peningkatan kadar hemoglobin (≥2 g/dl) terjadi lebih sering pada pasien yang mendapat zat besi intravena (73%), dari pada yang diberi zat besi oral (46%; p < 0,01) atau tidak mendapatkan zat besi (41%; p < 0,003).

Transfusi darah

Transfusi darah untuk memperbaiki anemia adalah modalitas terapeutik, tapi belum banyak publikasi mengenai penggunaannya pada pasien kanker. Tujuan utama transfusi darah, adalah memperbaiki secara cepat tanda-tanda dan gejala akibat anemia. Secara tipikal, ada peningkatan kebutuhan transfusi darah pada pasien kanker, bersama dengan bertambahnya siklus kemoterapi. Kebutuhan transfusi darah juga ditentukan oleh kadar hemoglobin dan jenis kanker.

Ada konsensus umum bahwa transfusi darah, harus digunakan pada pasien dengan penyakit terminal; ketika terjadi hilang darah akut atau kemunduran kronis pasien; ketika kadar hemoglobin di bawah 7 g/dl; pada pasien anemia dengan gejala respirasi atau jantung; atau pada pasien anemia karena kemoterapi. Meski demikian, kadar hemoglobin pemicu dan nilai targetnya belum ditentukan.

Di sisi lain, guideline EORTC menyebutkan, pasien dengan kadar hemoglobin kurang dari 9 g/dl harus dievaluasi untuk kebutuhan transfusi. Guideline ASH/ASCO menyatakan, transfusi darah bisa menjadi pilihan untuk memperbaiki anemia terkait kemoterapi, ketika kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl. Atau untuk pasien usia lanjut dengan limited cardiopulmonary reserve; pasien dengan penyakit koroner atau angina asimtomatis; mereka dengan penurunan kapasitas olah raga atau yang sulit melakukan aktivitas harian.