Ethicaldigest

Komplikasi Anemia pada PGK

Anemia umum terjadi pada penyakit ginjal kronis. Semakin tinggi stadium, semakin besar kemungkinannya. Pengobatannya dengan terapi ESA, didahului dengan memperbaiki status besi.

Anemia merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler dan penyakit ginjal kronis. Anemia merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik. Kondisi ini mulai terjadi bila laju filtrasi glomerolus <60mL/menit.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan anemia sebagai keadaan di mana hemoglobin <12 gram/dL, atau hematokrit kurang dari 37% pada wanita. Sementara pada laki-laki, bila hemoglobin <14 gram/dL atau hematokrit kurang dari 40%. Definisi anemia pada penyakit ginjal kronis bila hemoglobin <12 gram/dL pada laki-laki dan kurang dari 11 gram/dL pada perempuan.

Menurut The Third National Health and Nutrition Examination Survey  (NHANES), prevalensi anemia pada penyakit ginjal kronis stadium 3 (LFG 30-59 mL/menit) adalah 5,2%. Angkanya meningkat menjadi 44,1% pada stadium 4 (LFG 15-29mL/menit. Pada pasien stadium 5 (LFG <15 mL/menit) atau yang menjalani dialisis), hampir semua mengalami anemia.

Patofisiologi anemia pada penyakit ginjal kronik

Menurut dr. Aida Lydia Sp.PD-KGH, penyebab utama anemia pada penderita penyakit ginjal kronik adalah defisiensi hormon eritropoitin. Sel darah merah dibentuk di sumsum tulang, berasal dari pluropotential stem cell. “Hormon eritropoitin berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi dari progenitor eritroid, burst forming unit-erythroid (BFU-E) dan Colony Forming Unit Erythroid (CFU-E) menjadi eritroblast,” katanya.

Bila kadar eritropoitin tidak cukup, akan terjadi apoptosis sel sebelum memasuki stadium sel prekursor (eritroblast). Pada tahap proliferasi dan maturasi selanjutnya dari eritroblast menjadi pronormoblast dan retikulosit dibutuhkan zat besi, asam folat, vitamin B12, piridoksin, asam askorbat dan trace element.

Hormon eritropoitin dibentuk oleh sel fibroblast, yang spesifik pada jaringan interstisiium tubulus proksimal ginjal sebagai respon terhadap keadaan hipoksia. Pada penyakit ginjal kronik, jumlah nefron berkurang. Akibatnya terjadi penurunan fungsi ginjal dan terjadi insufisiensi eritropoietin, yang menyebabkan respon eritropoiesis terhadap rangsang hipoksia tidak efektif dan terjadilah anemia.

Di samping defisiensi eritropoitin, ada beberapa faktor lain yang ikut berperan terhadap terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik, seperti defisiensi besi, meliputi sekitar 25-45% pasien penyakit ginjal kronik. Defisiensi besi pada penyakit ginjal kronik disebabkan berbagai faktor, seperti perdarahan dan nutrisi yang kurang.

Diketahui bahwa penyakit ginjal kronik yang lanjut, menyebabkan gangguan pada mukosa lambung (gastropati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya gangguan fungsi trombosit yang ditandai oleh masa perdarahan yang memanjang, menyebabkan perdarahan yang terjadi berkepanjangan atau berulang kali.

Pada pasien yang menjalani hemodialisa, kehilangan darah lebih banyak karena retensi darah pada dialiser dan blood tubing. Pengambilan darah yang sering dan berulang akan memperberat keadaan anemia. Disamping itu, toksin uremik mempengaruhi masa paruh (half life) sel darah merah menjadi lebih pendek. Pada keadaan normal 120 hari, menjadi 70-80 hari pada penyakit ginjal kronik.

Tatalaksana anemia pada penyakit ginjal kronik

Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K-DOQI) merekomendasikan agar pengkajian anemia, dimulai bila hemoglobin <11gram/dL(Ht<33%) pada wanita premenopause dan hemoglobin <12g/dL pada laki-laki dan wanita pasca menopause. Prinsipnya sebelum memulai terapi ESA, dikaji lebih dulu kemungkinan faktor lain yang memperberat anemia.

Sebelum terapi ESA, pastikan status besi cukup. Status besi cukup ditandai saturasi transferin >20% dan feritin serum >100 ug/L (pasien predialisis) dan >200ug/L (pasien dialisis). Bila ditemukan ada defisiensi besi, harus diperbaiki sebelum memulai terapi ESA. Preparat yang tersedia saat ini adalah besi sukrosa dan besi dextran, dengan berat molekul kecil.

Preparat ESA yang ada adalah eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan CERA (continuous erythropoiesis receptor activator), suatu ESA dengan masa paruh yang panjang. Dosis eritropoietin 80-120 U/kg/minggu secara subkutan atau 120-180U/Kg/minggu intravena. Pemberian secara subkutan lebih dianjurkan, karena masa paruh lebih panjang dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil. Dosis CERA 0.6 ug/kgberat badan setiap 2 minggu pada fase koreksi, dilanjutkan setiap satu bulan pada fase pemeliharaan.