Ethicaldigest

Silodosin, Alfa Blocker yang Selektif

Pembesaran prostat umum terjadi pada pria lanjut usia. Pada penderita BPH, silodosin terbukti superior dalam mengurangi gejala.

Prostat merupakan kelenjar berbentuk biji kemiri, yang membentuk sebagian dari sistim reproduksi pria. Prostat dilewati oleh saluran uretra. Prostat berfungsi mensekresikan cairan seminal yang membawa sperma. Ketika terjadi orgasme, otot prostate berkontraksi, membantu mengeluarkan cairan ejakulasi dari penis.

“Ketika terjadi pembesaran atau hiperplasia, zona transisi pada prostat mengalami proliferasi. Ini menyebabkan saluran uretra menyempit. Akibatnya aliran air kemih  kecil,” terang Prof. DR. dr. Djoko Rahardjo, Sp.B, Sp.U, dari Departemen Urologi FK Universitas Indonesia. Itulah mengapa gejala awal dari pembesaran prostat adalah aliran urin yang tidak lancar.

Banyak faktor menyebabkan pembesaran kelenjar prostat. Di antaranya penuaan dan berfungsinya testikel atau testosteron. Ada dua sumber androgen pada pria: testosterone dan adrenal adrogens. Keduanya dengan 5 alfa reduktase, diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT). Kemudian, DKT menempel pada reseptor androgen.

Dengan menempelnya DHT pada AR, DHT bisa masuk ke dalam nukleus. Masuknya DHT ke dalam nukleus akan mengubah genome. Dengan messenger RNA, dihasilkan  epidermal growth factor dan platelet derived growth factor.  Akibatnya, prostate berploriferasi dan membesar.

“BPH adalah bagian dari proses penuaan yang alami, seperti tumbuhnya uban atau berkacamata. BPH tidak bisa dicegah, tapi bisa diobati,” jelas Prof. Djoko. “Tujuannya agar tidak berkembang menjadi kanker prostate.”  

Ukuran prostat pada usia muda 15-20 cc. Pembesaran prostat secara patologis mulai terjadi di usia 40 tahun. Di usia di atas 60 tahun, 50% pria mengalami pembesaran prostat. Di atas 85 tahun, 90% pria mengalami pembesaran prostat dan pada pria usia 50-80 tahun, 90% sudah mengalami pembesaran. Ada yang menunjukkan gejala dan ada yang tidak.

Gejala BPH terbagi dua, gejala voiding yang meliputi hesistansi, arus lemah, mengejan untuk mengeluarkan urin, mikturisi dalam jangka waktu lama, merasa tidak tuntas saat mengosongkan kandung kemih dan retensi urin. Sedang gejala storage meliputi urgensi, frekuensi, nokturia dan inkontinensia urin.

Dalam menegakkan diagnosis, yang pertama dilakukan adalah melakukan anamnesis. Sistim skoring International Prostate Symtoms Score (IPSS) yang berisi 7 pertanyaan mengenai kualitas hidup, paling sering digunakan untuk menegakkan diagnosis. Juga dilakukan pemeriksaan fisik dengan digital rectal examination atau colok dubur, untuk mengentahui ukuran nodul, konsistensi dan kelembutan prostat. Selanjutnya pemeriksaan uroflowmetry.

“Jika mendapati pasien dengan skor IPSS <8, artinya kencingnya masih biasa, nukturianya masih 1-2 kali. Setelah kecing masih mudah tidur, kita tidak perlu obat tapi pasien ini harus dilakukan watchfull waiting. Setiap tiga bulan pasien harus kontol,” kata Prof. Djoko.

Jika skor IPSS >8, urin residu lebih dari 50 CC dan Qmax 15 CC/detik diberi pengobatan. Ada beberapa obat yang dapat mengurangi gejala dengan cepat, yaitu doxazosin, terazodin, alfulozin, tamsulosin dan silodozin. Alfa bloker menghambat alfa 1 A dan 1D pada otot polos di uretra dan prostate. Ini dapat merelaksasi atau menurunkan tekanan uretra di bagian prostat. Sehingga dapat memperbaiki gangguan buang air kecil, yang disebabkan pembesaran prostat ringan.

Meski demikian, tidak semua alfa blocker sama. Yang paling baik adalah yang memiliki rasio alfa 1/alfa 2 yang tinggi. Artinya, sangat selektif terhadap alfa 1 A. Mengapa hal ini penting? Karena alfa 1 dominan berada di prostate. Sedangkan alfa 2 juga terdapat di otot halus pembuluh darah. Jadi kalau alfa 2 ikut dihambat, efeknya kurang baik bagi pembuluh darah.

Dari semua alfa blocker, silodosin merupakan alfa blocker yang sangat selektif terhadap alfa 1 dan bekerja dalam jangka panjang. Silodosin memiliki waktu paruh 12-18 jam. Di Indonesia, silodosin dipasarkan dengan dosis 4 mg 2x sehari.

Di dalam beberapa penelitian, Silodosin secara signifikan menurunkan lebih besar skor total IPSS dibanding plasebo, baik dalam dosis 8 mg satu kali sehari, atau pun 4 mg dua kali sehari. Silodosin juga secara signifikan menurunkan lebih besar dari baseline sampai minggu 12  skor gejala voiding dan storage IPSS. Dibandingkan dengan Tamsulosin 0,4 mg satu kali sehari, silodosin 8 mg sekali sehari tidak inferior dibanding tamsulosin dalam menurunkan skor IPSS.

Ada satu penelitian oleh Mayakita dan kawan-kawan. Penelitian ini membandingkan efikasi dan keamanan silodosin dan tamsulosin pada pasien dengan BPH dengan metode crossover. Pasien secara acak mendapatkan silodosin 4 mg selama 4 minggu, diikuti 4 minggu tamsulosin 0,2mg. Atau mendapatkan tamsulosin selama 4 minggu, dan diikuti dengan pemberian silodosin 4 minggu.

Hasilnya menunjukkan, silodosin dapat menurunkan skor IPSS lebih baik dibanding tamsulosin dari sejak awal pengobatan. Dan, ketika pengobatan diganti, pemberian silodosin pada kelompok yang awalnya mendapatkan tamsulosin dapat menurunkan skor IPSS. Sedang, kelompok awalnya mendapatkan silodosin, pemberian tamsulosin tidak memperbaiki skor IPSS secara signifikan.