Ethicaldigest

Epidemiologi SCCHN-HPV positif

Menurut dr. Ronald, SCCHN dengan HPV positif paling banyak ditemui pada kanker orofaring. Insidens kanker orofaring dengan HPV positif, makin meningkat di Amerika Serikat, terutama pada pria berusia muda. Ini diduga akibat adanya pergeseran perilaku seksual, terutama seks oral, pada pasangan homoseksual. Infeksi HPV 16 di mulut, diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker orofaring sebanyak 14 kali lipat. Studi cross-sectional NHANES oleh NCHS/CDC pada pria dan wanita berusia 14-69 tahun menunjukkan, prevalensi HPV oral di AS adalah sekitar 7%. Infeksi HPV oral ini berkaitan erat dengan jenis kelamin, usia, riwayat merokok dan perilaku seksual.

Prevalensi infeksi HPV oral yang tinggi pada pria, menyebabkan insidens SCCHN dengan HPV positif juga menjadi lebih tinggi. Studi yang dilakukan Chaturvedi menyatakan bahwa penderita SCCHN dengan HPV positif, umumnya berusia lebih muda dibanding SCCHN dengan HPV negatif. Sedangkan perilaku seksual yang mempengaruhi, adalah memiliki pasangan seksual lebih dari satu, seks oral dan riwayat hubungan seksual pertama pada usia muda.

Perubahan paradigma kaitan SCCHN dengan HPV

Kanker orofaring sebagai SCCHN yang paling sering ditemukan dengan HPV positif, mengalami peningkatan proporsi, dari 18% pada tahun 1973 menjadi 32% pada tahun 2005. Proporsi ini diperkirakan akan terus meningkat, dan dapat mendominasi SCCHN secara keseluruhan. Kanker yang berkaitan dengan infeksi HPV beranjak naik, dan kanker yang tidak berkaitan dengan HPV berangsur menurun. Hal ini terjadi seiring menurunnya jumlah perokok di Amerika Serikat. Di sisi lain, studi di Amerika Serikat, Eropa, Denmark, dan Australia mengindikasikan bahwa pasien dengan HPV positif ini memiliki peningkatan survival dua kali lipat, dibanding mereka yang dengan HPV negatif. Fakta-fakta ini, akan mendorong perubahan pada praktek secara klinis dalam pencegahan, pemeriksaan, dan penatalaksanaan SCCHN.

Seperti yang diketahui, HPV yang merupakan penyebab SCCHN adalah HPV tipe 16, yang tercakup dalam dua jenis vaksin HPV yang telah beredar. Secara teori, vaksin ini dapat melindungi pasien terhadap infeksi oral oleh HPV, dan pada akhirnya dapat mencegah terjadinya kanker yang disebabkan oleh HPV. Meski demikian, belum banyak penelitian mengenai hal ini. Demikian juga dalam hal skrining, belum banyak penelitian yang dilakukan. Tidak seperti kanker serviks yang dapat disaring dengan pemeriksaan pap-smear, saat ini belum ada pemeriksaan khusus yang terstandar untuk mengetahui kaitan, antara perubahan sitologi mulut dan HPV dengan kanker orofaring. Apalagi jika yang terkena kanker berada di daerah yang sulit untuk diambil sampelnya.

Bagaimana dengan pemeriksaan DNA HPV? Data yang diperoleh dari dua studi menunjukkan, pemeriksaan DNA HPV saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis dan prognosis. Demikian juga dengan pemeriksaan viral load, CxCaRNA, dan ekspresi p16. Meski demikian, riwayat periodontitis mungkin berkaitan dengan peningkatan risiko tumor kepala dan leher, yang HPV nya positif. Hal ini dipublikasikan pada Archives of Otolaryngology –Head and Neck Surgery pada bulan Juni 2012. Diharapkan pemeriksaan gigi secara rutin dan intervensi terhadap periodontitis agar tidak menjadi kronik, dapat menurunkan risiko terjadinya kanker.

Kaitan dengan prognosis dan terapi

Pada 10 tahun terakhir, studi retrospektif yang ada menunjukkan bahwa pasien kanker yang berkaitan dengan HPV, memiliki prognosis yang lebih baik dibanding pasien yang HPV negatif. Bahkan studi yang dilakukan oleh Gillison menyatakan bahwa pasien dengan HPV positif, memiliki risiko morbiditas hanya separuh dibanding pasien dengan HPV negatif. Penderita SCCHN terkait HPV, juga memiliki respon yang lebih baik terhadap kemoterapi dan radioterapi. Dengan demikian, ada kemungkinan terapi yang diberikan berbeda dengan pasien kanker dengan HPV negatif, misalnya dengan menurunkan dosis terapi dengan tujuan mengurangi efek toksik terapi.

Masing-masing pasien memiliki karakteristik dan riwayat berbeda, sehingga penatalaksanaan tidak dapat diberikan hanya berdasarkan positif atau tidaknya HPV. Misalnya riwayat merokok pada pasien, yang secara independen dapat mempengaruhi overall survival (OS) dan progression-free survival (PFS). Masih perlu penelitian lebih lanjut, guna menentukan terapi yang efektif pada pasien dengan HPV positif. Saat ini, penyesuaian terapi hanya dilakukan secara individual, bergantung pada respon pasien terhadap terapi.                

Menurut dr. Ronald, teknik pengobatan lain yang mungkin bermanfaat bagi pasien kanker dengan HPV positif adalah imunoterapi. Selama ini penelitian lebih ditujukan pada terapi virus Epstein-Barr, yang juga menyebabkan tumor. Imunoterapi dilakukan dengan pengambilan limfosit T dan melatihnya agar dapat mengenali antigen virus Epstein-Barr dengan lebih sensitif. Ada kemungkinan, teknik ini diadopsi pada kasus kanker yang disebabkan infeksi HPV. Apalagi teknik ini dianggap aman dan lebih nyaman bagi pasien, karena tidak memiliki efek toksik seperti terjadi pada kemoterapi.

Kaitan HPV dan SCCHN