Ethicaldigest

Kortiksoteroid dalam Tatalaksana Uveitis

Uveitis merupakan satu gangguan pada mata, yang dideskripsikan sebagai inflamasi pada uvea, yang terdiri atas iris, ciliary body dan koroid. Sedangkan uveitis imunogenik didefinisikan sebagai uveitis yang disebabkan oleh proses otoimun.

Tatalaksana lini pertama adalah kortikosteroid dosis tinggi (hingga 2 mg/kgBB). “Pada dosis ini, obat selain berperan sebagai antiinflamasi, juga sebagai imunosupresan,” ujar dr. Soedarman Sjamsoe, SpM. Bila terjadi komplikasi seperti ulkus duodenum, hipertensi dan sebagainya, pemberian kortikosteroid harus dihentikan diganti dengan imunosupresan lain.

Bila tidak ada komplikasi, pemberian kortikosteroid diteruskan, dengan penurunan  dosis secara bertahap sesuai respon pasien. “Kecuali pada kasus uveitis non infeksi tertentu seperti VKH, penyakit Behcet, Oftalmia simpatika dan sebagainya, bisa langsung digunakan imunosupresan,”  ia menambahkan.

Kortikosteroid

Sebagai terapi uveitis, kortikosteroid bekerja melalui berbagai mekanisme. Antara lain, menghambat aktivitas siklooksigenase dan fosfolipase; menghambat sintesis dan pelepasan sitokin, faktor aktivasi platelet dan molekul adhesi; menurunkan fungsi motogenik dari neutrofil dan limfosit lainnya, serta menurunkan permeabilitas vaskular.

Kasus dengan manifestasi uveitis anterior, dapat diberi kortikosteroid topikal dan siklopegik. Kortikosteroid berupa obat tetes, awalnya diberikan dengan jumlah tetesan sering, kemudian dosis diturunkan sesuai dengan respon pasien. Pemakaiannya juga dipertahankan dengan dosis minimal, sampai beberapa hari. Karena penetrasi vitreal dari steroid topikal lemah, efek samping sistemiknya jarang terjadi. Namun, penggunaannya dalam jangka panjang dapat mengakibatkan glaukoma, katarak, aktivasi infeksi, pseudoptosis, toksisitas kornea, dan sebagainya.

Pemakaian kortikosteroid sistemik hingga saat ini masih merupakan pilihan pertama, pada uveitis imunogenik. Pada kasus uveitis anterior berat, uveitis posterior, uveitis difusa, uveitis intermediate dan cyctoid macular edema (CME) dapat diberikan injeksi subtenon. Keuntungan injeksi subtenon adalah dicapainya dosis optimal dengan efek samping sistemik minimal. Sedangkan komplikasi yang dapat timbul adalah perforasi bola mata, glaukoma yang persisten di mana terkadang memerlukan tindakan operasi pengeluaran steroid dari subtenon.

Keberhasilan pengobatan uveitis, tergantung pada faktor kepatuhan pasien. Dengan ditemukannya terapi implantasi ke dalam vitreus, akan didapatkan kadar obat yang konstan dalam jangka waktu lama, sehingga dapat mengeliminir ketidakpatuhan pasien. Implant non biodegradable (deksametason, siklosporin, flucinolone)diindikasikan untuk uveitis kronis. Sedangkan implant biodegradable (deksametason) digunakan untuk terapi jangka pendek. 

Rimexolone

Rimexolone merupakan kortikosteroid nonfluorinasi poten, dengan aktivitas anti inflamasi lokal yang setara dengan deksametason dan prednisolon, serta tidak menyebabkan peningkatan tekanan  intraokular yang dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Tetes mata rimexolone lebih efektif dibandingkan plasebo, dalam mengatasi inflamasi akibat operasi katarak, dan memiliki efektivitas yang sama dengan tetes mata prednisolon dalam mengatasi uveitis.

Foster CS et. al. melakukan studi komparatif pada pasien dengan uveitis akut, recurrent iridocyclitis dan uveitis kronis, yang diterapi dengan tetes mata rimexolone 1% (77 pasien) atau tetes mata prednisolon 1% (83 pasien) dengan dosis 1 -2 tetes/jam dalam 1 minggu. Kemudian, dosisnya diturunkan setiap minggu sampai dosis 1 – 2 tetes 1x/hari, pada minggu ke empat. Studi lanjutan, diulangi dengan 42 pasien yang menggunakan tetes mata rimexolone 1% dan 43 pasien yang menggunakan tetes mata prednisolon 1%. Hasilnya menunjukkan,  secara statistik tidak ada perbedaan signifikan pada sel anterior chamber dan flare score pada kedua studi, kecuali untuk flare score pada hari ke 28 (studi pertama). Namun hasil studi tersebut menunjukkan, prednisolon meningkatkan tekanan intraokular sebesar 10 mmHg atau lebih, dibandingkan rimexolone.

Studi klinis menyebutkan, pada penggunaan tetes mata rimexolone, efek samping yang terjadi adalah penglihatan kabur (2,6%), discharge (2,2%), ketidaknyamanan (1,6%), nyeri okular (1,2%), peningkatan tekanan intraokular (1,0%) dan sensasi asing pada tubuh (1%).