Ethicaldigest

Mencegah Ulkus Pasien Kritis 3

Perlu diperhatikan bahwa jumlah faktor risiko yang terdapat pada dua kelompok, tidak sama. Pasien pada kelompok ranitidin memiliki 2,7 faktor risiko pada baseline. Sementara pasien yang mendapat omprazole, memiliki faktor risko 1,9 ( p < 0.05). Dalam suatu penelitian prospektif melibatkan 108 pasien kritis dengan setidaknya 1 faktor risiko untuk perdarahan ulkus stress, secara acak diberi ranitidin intravena (150 mg/hari), sukralfat (1 g setiap 6 jam melalui NGT), atau omeprazole intravena (40 mg setiap 12 jam). Tidak satu pun pasien pada kelompok omeprazole melaporkan perdarahan saluran cerna bagian atas (ditandai oleh hematemesis atau melena). Sebaliknya, insiden perdarahan 10,4% pada kelompok ranitidin dan 9,3% pada kelompok sukralfat.

Penelitian terbaru mencoba menguji hipotesa bahwa formula lepas cepat omeprazole/bicarbonate, tidak lebih jelek dari cimetidine intravena dalam mencegah SRMD. Penelitian ini melibatkan 359 pasien, yang dipasangkan ventilasi mekanis dengan skor APACHE >11 dan satu faktor risiko perdarahan ulkus stress lainnya. Pasien secara acak diberi dua dosis omeprazole 40mg setiap 6 -8 jam, diikuti dengan 40 mg sekali sehari yang diberikan melalui selang orogastrik atau NGT. Kelompok lainnya diberi cimetidine 300 mg bolus intravena, diikuti infus 50 mg/jam.

Para peneliti menemukan bahwa pH gastrik median harian adalah >6, pada pasien yang mendapatkan suspensi omeprazole. Tapi, hanya 50% dari waktu dalam satu hari pada pasien yang mendapatkan cimetidine. Yang lebih penting, perdarahan klinis (ditandai keluarnya darah berwarna merah cerah setelah 5 -10 min irigasi lambung), terjadi pada 3,9% pasien yang menggunakan omeprazole dan 5,5% pasien yang menggunakan cimetidine.

Karena itu, menurut penelitian ini, suspensi omeprazole/bicarbonate lepas cepat terlihat sama efektifnya dengan cimetidine intravena, dalam mencegah perdarahan ulkus stress. Pantoprazole dan lansoprazole adalah satu-satunya PPI yang disetujui, untuk diberikan melalui intravena di Amerika Serikat. Dengan demikian, sekarang sudah ada pilihan lain untuk profilaksis ulkus stress.  

Sayangmya, hanya sedikit data mengevaluasi penggunaan PPI intravena pada SRMD. Dalam penelitian pilot multisenter prospektif, pantoprazole IV dibandingkan dengan cimetidine IV dalam pengelolaan 202 pasien penyakit kritis yang bersiko mengalami kerusakan mukosa terkait stress. Pasien secara acak diberi pantoprazole 40 mg IV setiap 12 atau 24 jam; pantoprazole 80 mg IV setiap 8 jam, 12 jam atau 24 jam; atau cimetidine 50 mg/jam setelah pemberian dosis bolus 300 mg.

Hari pertama pemberian infus cimetidine, menghasilkan pH ≥4,0 selama 82% waktu. Sedangkan, pemberian pantoprazole menghasilkan pH ≥4,0 selama <70% waktu. Pada hari kedua, persentase waktu pH ≥4,0 menurun sampai 77% dengan cimetidine. Ini mungkin karena ada toleransi terhadap pengobatan. Sebaliknya, durasi saat pasien berada pada pH target meningkat, dengan semua regimen dosis pantoprazole. Pantoprazole 40 mg dua kali sehari dan 80 mg dua kali sehari, memberikan hasil setara dengan pH ≥4,0 selama 73% dan 77% waktu, secara berurutan.

Pantoprazole 80 mg 3 kali sehari, lebih baik dari cimetidine, dengan pH ≥4,0 selama 86% waktu. Dalam penelitian ini, dampak toleransi tampak lebih berat pada pasien yang mendapatkan makan melalui enteral pada hari kedua: pH>4 bisa dicapai dan dipertahankan dalam 49% waktu dalam kelompok cimetidine (n = 4), dibandingkan dengan 89% waktu pada kelompok yang diobati dengan pantoprazole (n = 50).

Para peneliti menyimpulkan, pantoprazole intermittent efektif dalam mempertahankan keasaman intragastrik untuk dapat mencegah ulkus stress pada pasien penyakit kritis. Dan pemberian cimetidine melalui infuse secara terus menerus, mungkin tidak efektif dalam meningkatkan kadar pH, pada pasien yang mendapat makanan enteral. Sejauh ini, tidak ada data mengevaluasi penggunaan lansoprazole IV pada SRMD. Diperlukan penelitian tambahan, agar dapat lebih jelas melihat manfaat PPI, terutama PPI intravena dalam mencegah SRMD.

Ada keyakinan bahwa menggunakan obat-obatan yang dapat menekan produksi asam, seperti H2RA, dapat meningkatkan risiko pneumonia. Itu karena keasaman lambung, dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri usus. Sedangkan alkalisasi lambung, dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri berlebih. Pertumbuhan bakteri yang berlebih dapat menjadi masalah, ketika isi lambung naik ke atas. Selain itu, pertumbuhan bakteri yang berlebih dapat memicu kolonisasi orifaring oleh bakteri patogen. Kedua kondisi ini dapat menyebabkan berkembangnya pneumonia nosokomia. Beberapa penelitian menghasilkan hasil yang bertentangan, berkenaan dengan munculnya pneumonia nosokomial dengan penggunaan H2RA.

Satu meta analisa profilaksis ulkus stress menemukan tren, meningkatnya angka kejadian pneumonia dengan penggunaan H2RA dan antasida dibanding pada penggunaan sukralfat, meski perbedaannya tidak signifikan. Selain itu, penelitian prospektif berskala besar yang membandingkan ranitidin dan sukralfat pada pasien yang menjalani pemasangan ventilasi mekanis, tidak menemukan perbedaan angka kejadian antara pasien yang menggunakan ranitidin dan sukralfat (19,1% dan 16,2%, secara berurutan; p = 0.19).

Karena hubungan langsung antara terapi penekan asam dan pneumonia nosokomial tidak ditemukan, faktor lain yang meningkatkan pH gastrik (seperti refluks asam empedu, volume intragastrik yang tinggi, disfungsi orofaringeal, translokasi bakteri karena stasis, antelektasis pada pasien yang dipasangkan ventilasi mekanis), kemungkinan berkontribusi pada terjadinya pneumonia pada pasien sakit kritis.