Ethicaldigest

Terapi Farmakologis untuk Mual dan Muntah saat Hamil (Bagian 2)

Selain vitamin, antihistamin, antikolinergik dan antagonis dopamin, ada beberapa obat lain yang bisa membantu mengatasi mual dan muntah pada waniita hamul.. Antagonist serotonin, kortikosteroid dan cairan intravena juga efektif untuyk mual dan muntah saat hamil.

Antagonis serotonin

Ondansetron, yang memiliki efek antagonis pada reseptor serotonin, adalah suatu antiemetik yang sangat efektif untuk mengatasi mual dan muntah karena kemoterapi. Namun, obat ini belum dievaluasi secara ekstensif pada wanita hamil. Meski demikian, obat ini telah digunakan off label, untuk wanita dengan mual dan muntah berat dan/atau hiperemesis gravindarum. Obat ini tidak menyebabkan malformasi setelah penggunaan ondansetron di trimester pertama kehamilan.

Sullivan dan kawan-kawan melakukan penelitian acak buta ganda (N = 30), yang membandingkan 10mg ondansetron yang diberikan secara intravena setiap 8 jam, dengan 50 mg promethazin yang diberikan secara intravena setiap 8 jam pada wanita yang menjalani rawat inap karena hiperemesis gravidarum. Penggunaan obat diteruskan hingga partisipan mampu makan tanpa emesis. Hasilnya, tidak memperlihatkan ada perbedaan dalam lama rawat inap, penuruan nausea atau dosis total obat.

Delapan wanita dalam kelompok promethazine melaporkan sedasi, sementara pada kelompok ondansetron tidak ada laporan sedasi yang tidak nyaman. Meski temuan dari penelitian acak terkontrol ini negative, serangkaian laporan kasus menunjukkan keberhasilan mengobati wanita dengan hiperemesis gravindarum dengan ondasentron, setelah sebelumnya gagal merespon terapi lain. Ondansetron makin banyak digunakan sebagai antiemetisk rescue, saat wanita tetap mengalami mual muntah, meski telah diobati dengan antihistamin atau atagonis dopamin.

Kortikosteroid

Kortikosteroid terutama digunakan saat seorang wanita dirawat inap karena hiperemesis gravindarum. Ada beberapa penelitian yang mengevaluasi keamanan dan efektifitas kortikosteroid, untuk mengobati hiperemesis gravindarum. Kortikosteroid dihubungkan dengan sedikit penurunan risiko bibir sumbing (RR, 3.4; 95% CI, 1,97–5,69). Saat ini, ACOG merekomendasikan obat itu tidak digunakan sebelum usia kehamilan 10 minggu.

Penelitian-penelitian mengenai efikasi kortikosteroid, memberikan hasil yang bertentangan. Yost dan kawan-kawan tidak menemukan perbedaan angka rawat inap ulang antara wanita yang diberi metilprednisolon, dan wanita yang tidak ditangani dengan kortikosteroid. Peneliti ini mengacak 110 wanita yang dirawat inap karena hiperemesis gravidarum, untuk diberi pengobatan dengan 125 mg metilprednisolon secara intravena, diikuti prednisolon (40 mg selama 1 hari, 20 mg selama 3 hari, 10 mg selama 3 hari dan 5 mg selama 7 hari), versus plasebo yang diberikan bersama regimen yang sama.

Semua wanita diobati dengan promethazine dan metoclopramide selama 24 jam pertama, ketika dirawat inap. Sebaliknya, Safari dan kawan-kawan tidak menemukan perbedaan dalam rawat inap ulang antara wanita yang diobati dengan metilprednisolone, dan mereka yang diobati dengan promethazine. Safari dan kawan-kawan mengacak wanita (N = 40) yang dirawat inap karena hiperemesis gravidarum, untuk diberi metilprednisolone atau promethazine 3x sehari selama 3 hari. Setelah 3 hari terapi, wanita yang diberi 16 mg metilprednisolon (n = 20) dikurangi dosisnya selama 2 minggu. Mereka yang menggunakan promethazin (n = 20) meneruskan promethazin 25 mg 3x sehari.

Tidak ada satu pun wanita yang menggunakan metilprednisolon yang butuh dirawat inap ulang, sementara lima wanita yang menggunaan promethazin dirawat ulang dalam 2 minggu setelah keluar dari rumah sakit. Penelitian lain menggunakan prednison atau metilprednisolone, telah menggunakan regimen berbeda dan dosis berbeda. Hingga saat ini, tampaknya agen-agen ini dapat memberi perbaikan yang cepat, tetapi efikasinya dalam jangka panjang masih belum jelas.

Cairan intravena

Penggunaan cairan intravena membutuhkan perhatian. Cairan intravena adalah pengobatan penting untuk wanita yang mengalami dehidrasi, dan secara anekdot wanita melaporkan perbaikan sigifikan selama beberapa hari setelah mendapat cairan intravena. Wanita yang ingin menghindari penggunaan obat-obatan, dapat memilih untuk menggunakan cairan rehidrasi intervena intermiten. Cairan mengandung dextrose harus dihindari, karena risiko Wernicke encephalopathy dapat terjadi pada wanita yang diberi karbohidrat tinggi, saat terjadi defisiensi thiamine.

Larutan garam normal adalah pilihan terbaik untuk infus intravena, karena dapat memperbaiki hiponatremia. Klorida potasium dapat ditambah jika dibutuhkan, begitu juga  thiamine (vitamin B1) atau cairan multivitamin. Thiamine penting karena kebutuhan thiamine meningkat pada kehamilan, defisiensi dapat terjadi jika gejala muntah terjadi dalam jangka panjang.

Terapi Farmakologis untuk Mual dan Muntah saat Hamil