Ethicaldigest

Mencegah Ulkus Pasien Kritis 1

Kadar asam tinggi hanya salah satu faktor penyebab ulkus pada pasien kritis. Terapi penekan asam dapat menjadi terapi pencegahan. Terapi lain adalah dengan meningkatkan faktor difensif menggunakan sukralfat.

Patogenesis kerusakan mukosa terkait stress, sangat kompleks dan belum sepenuhnya bisa dipahami. Hipersekresi asam lambung, terjadi pada pasien dengan luka bakar luas atau cidera pada kepala. Tapi, pada sebagian besar pasien dengan penyakit kristis, sekresi asam di lambung masih terbilang normal bahkan rendah.

“Penemuan ini menimbulkan dugaan, ada faktor lain yang berperan,” ucap Dr. dr. Chudahman Manan, Sp.PD-KGEH pada suatu simposium di Jakarta. Menurutnya, faktor-faktor seperti garam empedu dan hiperperfusi, memiliki andil dalam terjadinya kerusakan mukosa. Meski bukan satu-satunya, iskemik mukosa lambung diduga merupakan penyebab utama kerusakan mukosa, yang diinduksi stress fisik. Keberadaan asam luminal, dianggap penting  dalam patogenesis ulserasi mukosa terkait stress.

Beberapa kondisi klinis dan penggunaan obat-obatan tertentu, memberikan risiko terjadinya kerusakan mukosa saluran cerna. Penggunan ventilasi mekanis berkepanjangan (lebih dari 48 jam) dan koagulopati, teridentifikasi sebagai faktor-faktor risiko perdarahan saluran cerna. Pasien-pasien dengan kondisi-kondisi ini,  berisiko 3,7% mengalami perdarahan klinis (95% confidence interval [CI], 2,5%-5,2%), sementara pasien-pasien tanpa komplikasi-komplikasi ini berisiko 0,1% (95% CI, 0,1%-0,5%). Faktor-faktor risiko lainnya mencakup trauma atau syok, sepsis, gagal hepatik, luka bakar berat (lebih dari 35% permukaan tubuh), dan gangguan sistim saraf pusat berat.

Penggunaan antikoagulan atau kortikosteroid dosis tinggi, dan rawat inap di ICU yang berkepanjangan, juga dapat meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna pada pasien. Karena itu, mengidentifikasikan pasien yang berisiko tinggi mengalami perdarahan terkait stress, membantu mempersempit populasi yang perlu terapi profilaksis. Diperkirakan, hanya 30 persen pasien berisiko tinggi yang perlu terapi profilaksis, untuk mencegah kejadian perdarahan signifikan pada saluran cerna. Sebaliknya, sebanyak 900 pasien berisiko rendah yang perlu  pengobatan untuk mencapai efek manfaat yang sama.

Tujuan utama terapi pada SRMD, adalah untuk mencegah perdarahan klinis. Perdarahan yang terjadi akibat SRMD, sulit diatasi dan meningkatkan risiko kematian pada pasien. Karenanya, pengobatan ditekankan pada pencegahan. Meski sebagian besar pasien berpenyakit kritis menunjukkan beberapa perubahan di saluran pencernaan, lapisan mukosa umumnya menjadi normal ketika kondisi klinis membaik. Namun, pada banyak kasus, perdarahan tidak memprediksi berkembangnya perdarahan klinis. Karena itu, fokus pengobatan tetap pada mencegah terjadinya perdarahan klinis, yang dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi.

Pada ulkus stress, penyebabnya adalah penurunan faktor difensif. Sedangkan faktor ofensifnya adalah konsentrasi asam lambung yang tinggi, normal atau rendah. Menurut dr. Chudahman, obat-obatan yang dapat meningkatkan ketahanan mukosa, merupakan pilihan utama. Sukralfat sebagai obat sitoprotektor lokal, dapat dipakai sebagai salah satu komponen terapi. Dalam bentuk suspense, sukralfat akan kontak dengan lesi dan membentuk lapisan karena bereaksi dengan komponen protein darah dan pepsin. Hasilnya akan menutup lesi mukosa. Selain itu, sukralfat sebagai mukus protektor meningkatkan produksi mukus, yang akan melindungi mukosa akibat iskemia/reperfusi. Sukralfat juga meningkatkan fibroblast growth factor, dan menginduksi peningkatan konsentrasi prostaglandin pada mukosa. Kondisi ini  sangat penting dalam penyembuhan lesi mukosa.

Penggunaan berbagai obat penekan asam, seperti proton pump inhibitor (PPI) dan H2 receptor antagonist, dapat digunakan terutama pada kondisi hiperasiditas. Penurunan keasaman lambung, menghasilkan hasil berbeda-beda, tergantung seberapa besar obat tersebut dapat meningkatkan pH. Misalnya, pepsin mulai nonaktif pada pH 4,5, tapi meningkatkan pH sampai 5,0, menonaktifkan pepsin secara total dan menetralkan 99,9% asam lambung.

Meski kadar pH yang lebih tinggi diperlukan, pH intragastrik ≥4,0 sudah cukup untuk mencegah perdarahan mukosa. Suatu meta analisa terhadap 42 penelitian menyelidiki efikasi antasid dan H2RAs untuk profilaksis ulkus stress menemukan, sebagian besar penelitian mempertahankan pH intragastrik sebesar 3,5 atau lebih. Penekanan asam sebesar itu menurunkan risiko perdarahan klinis. Alasan lain adalah bahwa pH ≥6,5 lebih efektif, karena dapat menjaga pepsin tetap tidak aktif, dan menjaga proses koagulasi darah normal. Meski demikian, bukti dari penelitian acak terkontrol menunjukkan bahwa pH sebesar 3,5 cukup untuk mencegah perdarahan.

Pilihan terapi profilaksis mencakup sukralfat, H2RAs, dan PPI. Sukralfat tidak mengubah kadar keasaman dari saluran cerna. Jadi, obat ini tidak dianggap sebagai terapi penekan asam. Meski mekanisme kerjanya tidak diketahui, saat ini diketahui bahwa sukralfat meningkatkan sistim pertahanan mukosa saluran cerna, terhadap perubahan-perubahan yang diinduksi asam dalam saluran cerna. Para ahli yang mendukung penggunaan obat ini pada ulkus stress mengklaim bahwa karena obat ini tidak meningkatkan pH gastrik, kolonisasi bakteri pada saluran cerna tidak perlu menjadi kekhawatiran.

Meski demikian, relevansi mekanisme kerja ini tidak jelas dan penggunaan obat ini lebih lanjut dihindari, pada orang yang menggunakan banyak obat melalui oral, karena adanya potensi interaksi obat dan akumulasi alumunium pada pasien dengan gangguan ginjal. Selain itu, penggunaan obat oral secara berulang-ulang bisa menjadi masalah, bagi beberapa orang dengan penyakit kritis.

H2RA dan PPI keduanya menghambat sekresi asam, tapi dengan mekanisme berbeda. Tiga stimulus kimia terlibat dalam sekresi asam lambung: cetylcholine, histamine, dan gastrin. H2RA menekan sekresi asam dengan menghambat reseptor histamine2 pada permukaan basolateral di sel parietal. Meski demikian, H2RAs tidak bisa mencapai pH yang cukup, dalam periode waktu tertentu. Terutama ketika diberikan dalam dosis bolus intermitten. H2RA memiliki waktu paruh pendek, menyebabkan peningkatan pH hanya 4-8 jam setelah pemberian bolus intravena.

Pemberian H2RA melalui infus secara terus menerus, dapat mempertahankan pH gastrik intermitten yang lebih konsisten daripada bolus intermitten. Tapi, pemberian H2RA secara terus menerus menyebabkan toleransi pada penggunanya. Setelah pemberian terapi H2RA, kadar  pH meningkat dengan cepat. Dalam 24-48 jam, berkembang toleransi, kadar pH turun dan dibutuhkan dosis H2RA yang lebih tinggi untuk mempertahankan respon.