Ethicaldigest

Terapi Kombinasi Infeksi C. difficile 1

Infeksi C. difficile adalah masalah yang kerap terjadi akibat konsumsi antibiotik. Pengobatan  dengan antibiotik tidak selalu memuaskan, dan ada kemungkinan kambuh. Berbagai studi menunjukkan efek positif probiotik sebagai terapi kombinasi.

Antibiotik tak ubahnya pisau bermata dua. Di satu sisi, antibiotik efektif mengatasi berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Tapi di sisi lain, juga berpotensi menimbulkan penyakit lain, karena mematikan semua bakteri di tubuh termasuk bakteri ‘baik’ yang menjaga keseimbangan flora usus. Keadaan ini bisa berbahaya karena bakteri yang bersifat oportunistik bisa berkembang biak tak terkendali dan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Salah satu yang perlu diwaspadai yakni Clostridium difficile (C. difficile), khususnya pada anak. Bakteri anaerob ini dikenal sebagai penyebab utama antibiotic-associated diarrhea (AAD) dan colitis pseudomembranosa atau PMC (pseudomembranous colitis).

C. difficile umum ditemukan pada usus anak dan bayi baru lahir. Dalam keadaan normal, bakteri ini tidak berbahaya. Gangguan muncul ketika bakteri-bakteri lain penghuni usus mati akibat antibiotik, sehingga populasi C. difficile melonjak tajam. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional ditengarai sebagai penyebab peningkatan infeksi C. difficile, terutama dalam kasus infeksi nosokomial di rumah sakit (RS).  Situs medscape.com menyebutkan, 5-38% pasien rawat inap yang mendapat antibiotik mengalami AAD; 15-20% di antaranya disebabkan oleh C. difficile (C. difficile associated disease). Di Amerika Serikat (AS), infeksi C. difficile menyebabkan penyakit pada 8/1000 pasien yang dirawat di RS di tahun 2008. Bakteri anaerob ini bisa disebarkan melalui interaksi antar pasien maupun pasien dan petugas medis, melalui kontak dengan benda atau kontak fisik.

Tidak semua C. difficile menimbulkan gangguan; hanya strain yang memproduksi toksin A (enterotoksin) dan toksin B (sitotoksin) yang berperan dalam AAD  dan PMC. Toksin A bersifat enterotoksik, yang dapat mengikat sel pada membran brush border. Perlekatan ini dapat merusak mukosa usus dan merangsang sekresi cairan dari usus, serta juga dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, salah satu ciri diare akibat C. difficile yakni diare yang disertai darah dan lendir. Ada pun toksin B tidak aktif di usus, tapi memiliki kekuatan sitotoksin 1000 kali lebih kuat daripada toksin A.

Secara umum, kedua toksin menyebabkan inflamasi pada mukosa usus. Diare disebabkan oleh toksin-toksin tersebut, yang diproduksi di dalam lumen usus dan melekat pada mukosa usus. Gejala yang paling umum mencakup diare berair, kram perut, demam >38oC, lekositosis, hingga diare berdarah. Adapun colitis berat akibat C. difficile dapat menyebabkan diare berair, kehijauan, dan bau busuk hingga >8x/hari, disertai mual, muntah, dan anoreksia.

Karena disebabkan oleh antibiotik, maka pengobatan awal untuk diare akibat C. difficile yakni menghentikan konsumsi antibiotik tersebut, agar flora normal penghuni usus pulih. Pendekatan ini berhasil pada 15-25% pasien. Pada kasus yang lebih berat, bisa diberikan antibiotik spesifik selama +10 hari. Namun pemberian antibiotik untuk membasmi C. difficile juga bisa menimbulkan masalah lain.

Situs healthychildren.org menyebutkan, 10-20% pasien AAD akibat infeksi C. difficile mengalami relaps setelah terapi antibiotik. Rekurensi bisa disebabkan oleh kegagalan eradikasi atau infeksi berulang. Episode rekurensi umumnya memberikan respon yang baik terhadap pengobatan yang sama dengan episode pertama. Namun pada relaps berulang, manajemen umumnya lebih sulit. Karena kurangnya data, hingga kini belum ada rekomendasi terapeutik formal untuk relaps berulang.

Peranan probiotik

Pengobatan alternatif untuk AAD, salah satunya menggunakan probiotik. Probiotik bekerja dengan beberapa cara. Antara lain, mengembalikan keseimbangan flora usus. Pasien dengan AAD berulang memiliki diversitas bakteri yang berkurang dibandingkan orang normal. Di usus, bakteri yang bersifat probiotik akan berkompetisi dengan bakteri lain untuk memperebutkan makanan dan tempat tinggal (perlekatan pada epitel usus). Probiotik juga memiliki efek antimikroba dengan memproduksi asam laktat yang menurunkan pH lingkungan usus. Ini membuat usus kurang nyaman bagi bakteri pathogen termasuk C. difficile sehingga populasinya berkurang. Sebuah meta analisis oleh Avadhani A dan Miley H (2011) dan dipublikasi di situs pubmed.gov menunjukkan, pemberian probiotik menurunkan risiko AAD sebanyak 44% dan CDAD hingga 71%.

Tempat awal terjadinya interaksi antara bakteri komensal dan bakteri pathogen yakni di epitel usus. Probiotik menciptakan barrier pelindung usus dengan mengganggu perlekatan antara toksin C. difficile A dan B dengan sel-sel epitel usus. Pada model hewan dan in vitro, strain-strain probiotik terlihat menghambat adhesi dan menurunkan invasi organisme pathogen pada epitel kolon.

Terapi Kombinasi Infeksi C. difficile 2