Ethicaldigest

Terapi Lini Pertama gagal? Masih AdaTerapi Lini Kedua dan Ketiga Sakit

Terapi lini pertama dengan Verapamil, menyisakan 20-30% pasien yang masih mengalami gejala. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama, ada terapi lini kedua dan ketiga.

Terapi lini kedua

Lithium karbonat adalah terapi lini kedua, untuk profilaksis rumatan sakit kepala kluster. Ditempatkannya lithium sebagai terapi lini kedua karena potensi efek sampingnya, kebutuhan untuk pemantauan uji darah selama terapi, dan potensinya untuk menyebabkan beberapa interaksi obat. Meski demikian, lithium karbonat terbukti memberi manfaat yang signifikan, dalam pengobatan sakit kepala kluster kronis.

Dalam studi terakhir, semua pasien yang terlibat (8 pasien) mengalami setidaknya perbaikan 75% dalam 2 minggu pertama terapi. Namun, hanya 1 dari 3 yang diikuti jangka panjang, yang terus mengalami perbaikan setelah 18 bulan terapi. Bukti penggunaan lithium karbonat untuk pengobatan sakit kepala kluster episodik kurang jelas. Umumnya, penelitian mengenai obat ini berskala kecil dan memberikan hasil berbeda-beda.

Dosis Lithium karbonat berkisar dari 600 -i 900 mg /hari, yang diperlukan untuk mencapai kadar serum 0,4-0,8 mEq / L. Selama terapi dengan lithium, kadar Lithium serum, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid harus dipantau. Efek samping umum penggunaan lithium meliputi diare, tremor dan poliuria. Gejala dan tanda-tanda toksisitas meliputi mual , muntah , diare, kebingungan, nystagmus, tanda-tanda ekstrapiramidal, ataksia dan kejang.

Topiramate, dalam dosis 50 – 200 mg /hari, dianggap terapi lini kedua untuk sakit kepala kluster. Meski guideline European Federation of Neurological Societies memberikan rekomendasi kelas B. Penggunaan topiramate untuk profilaksis sakit kepala kluster, hanya diteliti dalam penelitian label terbuka saja. Efek samping umum topiramate mencakup disfungsi kognitif, parestesia, perubahan dalam rasa, penurunan berat badan, kelelahan dan pusing.

Terapi lini ketiga

Terapi profiolaksis lain yang mungkin untuk rumatan sakit kepala kluster mencakup methysergide, asam valproat, melatonin, gabapentin, baklofen, klonidine, dan toksin botulinum. Meski methysergide efektif untuk sakit kepala kluster, obat ini tidak tersedia di Amerika Serikat dan tidak digunakan jangka panjang, terkait dengan komplikasi fibrosis.

Dalam penelitian label terbuka dan restrospektif, asam valproat terbukti memiliki manfaat. Meski demikian, sebuah penelitian plasebo terkontrol double-blind natrium valproate tidak menemukan potensinya. Mungkin karena tingkat respon yang sangat tinggi pada 62% kelompok plasebo. Dosis efektif berkisar  500 – 2000 mg /hari, dalam dosis terbagi. Efek samping yang sering terjadi mencakup penambahan berat badan, kelelahan, tremor, rambut rontok, dan mual. Selama terapi, diperlukan pemeriksaan jumlah darah lengkap dan dengan tes fungsi hati.

Bukti terbatas mendukung penggunaan melatonin untuk profilaksis sakit kepala kluster. Dalam penelitian buta-ganda plasebo-terkontrol 10 mg melatonin, 5 dari 10 peserta yang diberi melatonin mengalami remisi dalam 5 hari. Sedangkan, tidak satu pun dari 10 subyek yang menggunakan plasebo mengalami remisi.

Penelitian label terbuka penggunaan gabapentin, menunjukkan dosis profilaksis pada sakit kepala kluster adalah 800 – 3.600 mg /hari. Biasanya, gabapentin adalah obat yang dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang banyak terjadi adalah mengantuk dan kelelahan, pusing, penambahan berat badan , edema perifer dan ataksia.

Dalam sebuah penelitian label terbuka baclofen 10 mg 3x/hari memperlihatkan, 6 dari 9 subyek mengalami remisi dalam 1 minggu dan 1 subyek mengalami perbaikan tambahan, diikuti remisi pada minggu ke 2. Meski tidak dilaporkan, adanya efek samping yang paling sering terjadi adalah mengantuk, pusing, ataksia, dan kelemahan otot.

Klonidine diberikan sebagai plester transdermal, dengan dosis 5 – 7,5 mg telah dipelajari dalam 2 penelitian label terbuka. Penelitian pertama, yang mengikutkan 8 pasien sakit kepala episodik dan 5 pasien sakit kepala kronis, ada penurunan yang signifikan frekuensi serangan, intensitas nyeri, dan durasi serangan. Namun, penelitian kedua yang melibatkan 16 pasien, gagal  mengkonfirmasi hasil positif ini. Efek samping clonidine dalam penelitian ini adalah kelelahan dan penurunan tekanan darah.

Sebuah penelitian label terbuka dari toksin botulinum tipe A, sebagai terapi tambahan terhadap 3 pasien sakit kepala episodik dan 9 pasien sakit kepala kluster kronis, hasilnya bertentangan. Lima puluh unit disuntikkan ipsilateral terhadap sakit kepala, menghasilkan remisi pada 1 pasien sakit kepala kluster kronis; perbaikan frekuensi serangan dan keparahan pada 2 pasien sakit kepala kluster kronis; perbaikan sakit kepala baseline dengan tanpa perubahan pada serangan kluster pada 1 pasien sakit kepala kluster kronis; dan tidak memiliki manfaat pada 8 pasien lainnya.

Profilaksis transisional

Kortikosteroid sering diberikan bersamaan dengan pemberian terapi profilaksis rumatan, untuk mendapat kontrol dengan cepat. Kortikosteroid oral dan intravena, sama-sama bisa bermanfaat. Berbagai dosis prednison oral, mulai dari 10 mg / hari sampai 80 mg / hari, telah dievaluasi dalam sebuah studi melibatkan 9 penderita sakit kepala kluster episodic, dan 10 penderita sakit kepala kluster kronis.

Dosis puncak prednison yang diberikan selama 3 – 10 hari, dan diturunkan selama 10 – 30 hari. Sakit kepala menghilang total pada 11 pasien , 3 pasien berkurang 50-99%, 3 pasien berkurang 25-50%, dan 2 pasien tidak mendapatkan manfaat. Pasien sakit kepala kluster episodic dan sakit kepala kluster kronis, memiliki respon yang sama. Para peneliti berpendapat, dibutuhkan dosis 40 mg atau lebih agar prednisolon bisa memberi manfaat. Kekambuhan sakit kepala umum terjadi saat dosis diturunkan. Penelitian lain dari prednisolon, memberikan hasil serupa.

Prosedur Invasive Untuk Penderita Sakit Kepala Kluster yang Gagal Obat

Meski penelitian mengenai penggunananya kurang, ergotamine tartrat dan DHE bisa digunakan sebagai terapi profilaksis transisi. Dalam sebuah penelitian label terbuka, 23 pasien sakit kepala kluster episodic dan 31 pasien sakit kepala kluster kronis diberi pengobatan dengan DHE intravena berulang. Semua pasien bebas sakit kepala saat ditangani dengan DHE IV: 10 pasien (16 %) setelah dosis pertama, 12 pasien lainnya (19%) selama hari pertama perawatan, 22 (34%) menjadi bebas sakit kepala di hari kedua perawatan. Pada hari ke 3, lebih dari 90% pasien bebas sakit kepala dan pada hari ke 5, semua bebas sakit kepala.

Sekitar 83% pasien tidak melaporkan efek samping dari penggunaan DHE intravena. Efek samping yang sering dilaporkan mencakup mual, sesak dada non jantung dan metallic taste. Ergotamine tartrat 3-4 mg /hari dalam dosis terbagi, bisa diberikan selama 2 – 3 minggu, sebagai terapi profilaksis transisi. Pemberiannya dilakukan sebelum tidur, untuk membantu mencegah serangan malam hari .

Terapi Profilaksis Rumatan dan Transisi Untuk Sakit Kepala Kluster