Ethicaldigest

Variasi Dermatitis Atopik3

Aeroalergen 

Ketika usias anak dengan atopik bertambah, alergen inhalasi berperan penting  dalam patogenesis dermatitis atopik. Walker dan kawan-kawan adalah yang pertama melaporkan pada 1918, bahwa beberapa pasien mengalami eksaserbasi dermatitis atopik saat terpapar bulu kuda, rumput timothy atau serbuk sari. Pada 1950-an, Tuft dan Heck melaporkan bahwa pruritus dermatitis atopik dan lesi kulit eksim terjadi setelah inhalasi intranasal alternaria atau serbuk sari.

Meski demikian, laporan-laporan terbaru fokus pada pemberian aeroallergen melalui teknik plester aeroalergen. Dalam penelitian-penelitian ini, pemberian plester aeroallergen pada kulit atopik menyebkan reaksi eksematoid pada 30-50% pasien dengan dermatitis atopik. Reaksi positif didapatkan terhadap berbagai alergen, meliputi debu tungau, rumput liar, bulu binatang dan jamur.

Pasien dengan alergi saluran nafas dan relawan sehat, jarang yang memiliki hasil tes plester alergen positif. Meski, plester alergen dapat menyebabkan reaksi eksematoid, ada variasi dalam performa dan interpretasi hasil tes ini. Belum terstandarisasinya alergen yang digunakan dalam tes dan grading respon positif yang berbeda-beda, adalah dua faktor penyebab perbedaan interpretasi ini. Maka, penggunaan klinis dari tes ini masih dipertanyakan, walau cara ini masih sering digunakan dalam penelitian.

Beberapa penelitian menyelidiki, apakah menghindari aeroallergen bisa memperbaiki dermatitis atopik. Sebagian besar penelitian adalah penelitian tidak terkontrol, di mana pasien ditempatkan di lingkungan bebas tungau. Metode semacam ini memberikan perbaikan dermatitis atopik yang sama. Satu penelitian terkontrol buta ganda yang menggunakan kombinasi tindakan penurunan jumlah tungau telah dilaporkan. Meski kelompok aktif dan kontrol mengalami penurunan konsentrasi Der p 1 di karpet, penurunan konsentrasi debu lebih besar pada kelompok aktif, dan penyakit membaik lebih baik pada kelompok pengobatan aktif.

Penelitian-penelitian klinis menunjukkan, inhalasi atau kontak dengan aeroallergen dapat mengeksaserbasi dermatitis atopik. Data laboratorium mendukung peran inhalan, termasuk penemuan antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen inhalan tertentu, pada sebagian besar pasien dermatitis atopik. Bahkan penelitian terkini memperlihatkan bahwa 95%  pasien dermatitis atopik memiliki IgE terhadap debu tungau, dibanding 42% pasien asma.

Mikroba 

Pasien dengan dermatitis atopic, cenderung mengalami infeksi kulit akibat bakteri dan jamur. S aureus ditemukan pada lebih dari 90% kulit penderita dermatitis atopik. Sedangkan, hanya 5% orang sehat yang memiliki organisme ini di kulitnya. Kepadatan S aureus pada lesi dermatitis atopik yang meradang tanpa superinfeksi klinis, bisa mencapai 107 colony-forming units per cm2 pada kulit lesi.

Peran penting S aureus, didukung hasil pengamatan yang memperlihatkan bahwa pada pasien dermatitis atopik tanpa superinfeksi, severitas penyakit kulit menurun ketika diobati dengan kombinasi antibiotik antistapilokukus dan kortiksoteroid topikal. Penelitian terkini memperlihatkan, strategi di mana S aureus mengeksaserbasi atau mempertahankan peradangan kulit pada pasien dermatitis atopic, adalah dengan mensekresikan sekelompok toksin yag disebut superantigen yang menstimulasiaktifasi sel T dan makrofag.

Selain perhatian pada bakteri, kini  timbul perhatian terhadap infeksi jamur, terutama Malassezia furfur (Pityrosporum ovale atau Pityrosporum orbiculare), sebagai patogen dalam dermatitis atopik. M furfur adalah ragi lipofilik, yang biasanya ada di daerah seboroik kulit. Antibodi IgE terhadap M furfur, umumnya ditemukan pada pasien dermatitis atopik dan lebih sering pada pasien dengan dermatitis kepala dan leher.

Sementara sensitisasi IgE terhadap M furfur, jarang ditemukan pada subyek kontrol sehat atau pasien asma. Reaksi uji  plester alergen positif terhadap ragi ini, juga telah diperlihatkan. Bukti lain mengenai peran infeksi jamur pada terjadinya dermatitis atopic, adalah manfaat pemberian anti jamur dalam menurunkan keparahan dermatitis atopik.

Otoalergen 

Sejak tahun  1920, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa bulu kulit pada manusia, dapat memicu reaksi hipersensitifitas pada kulit pasien dengan dermatitis atopik berat. Ini menunjukkan, IgE pada penderita bekerja melawan otoantigen di kulit. Pada 1963, Hashem dan kawan-kawan melaporkan bahwa ekstrak kulit manusia dapat menginduksi proliferasi PBMC dari pasien dengan dermatitis atopik. Tapi, kemudian, perhatian terhadap otoalergen sebagai pemicu dermatitis atopik menurun. Valenta dan kawan-kawan melaporkan, mayoritas sera dari pasien dengan dermatitis berat, memiliki antibodi IgE yang melawan protein dari manusia.

Variasi Dermatitis Atopik 2