Ethicaldigest

Terapi untuk DA

Dermatitis atopic (DA), suatu penyakit yang dipengaruhi oleh faktor turunan atau genetik belum bisa di sembuhkan secara total. Kondisi ini hanya bisa dikendalikan, dengan menekan flare dan memperpanjang jarak antara flare, menggunakan obat-obatan yang ada saat ini dan menjauhkan dari faktor pencetus. Namun, dengan mekanisme yang belum bisa dijelaskan sampai saat ini, banyak kasus dermatitis atopik yang bisa mengalami remisi hampir seumur hidup dengan otohemoterapi.

Otohemoterapi merupakan suatu tindakan medis, yang dilakukan dengan mengambil darah dari pembuluh vena pasien. Lalu, disuntikkan kembali melalui intravena atau subkutan kepada pasien yang bersangkutan. “Biasanya darah kita ambil dari pembuluh vena di lengan sebanyak 2-3 cc dan disuntikkan intramuskular,” kata dr. Titi Moertolo, SpKK. Tindakan ini bisa diulang 2 kali perminggu, selama tiga minggu.

“Otohemoterapi cocok untuk semua penyakit alergi akibat makanan, seperti asma dan dermatitis atopik. Syaratnya, pasien tidak sedang mengalami penyakit infeksi. Kalau ada penyakit infeksi, tangani dulu penyakit infeksinya,”  kata dr. Titi. Namun demikian, berdasarkan pengalaman dr. Titi, ada juga pasien yang tidak sembuh dengan otohemoterapi. “Mungkin, dalam darah pasien sudah terlalu banyak toksinnya,” ujarnya.

Sudah 20 tahun dr. Titi mempraktekan otohemoterapi dengan hasil yang baik. “Pada anak-anak berusia di bawah 10 tahun, biasanya setelah 2-3 kali dilakukan terapi, pasien sudah sembuh, dengan catatan dia harus menghindari susu dan makanan pencetus lainnya,” katanya. Pantangan lainnya, pasien tidak boleh diberi steroid. Terutama steroid sistemik. Sebab, kalau diberi steroid sistemik, kesembuhan yang diharapkan tidak terjadi.

Bagaimana cara kerja terapi ini?  Menurut dr. Titi, ada suatu proses desensitasi pada pasien yang menjalani terapi ini. Jadi, tubuh yang tadinya memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap suatu alergen, menjadi berkurang. “Mekanisme sesungguhnya masih belum diketahui. Tapi, bisa dikatakan 90% pasien yang menjalani terapi ini menunjukkan hasil yang baik,” kata dr. Titi.

Bukan terapi alternative

Otohemoterapi pertama kali diperkenalkan pada 1913 oleh Ravaut. Semenjak itu, otohemoterapi digunakan untuk berbagai penyakit, termasuk dermatitis atopik. Ratusan artikel mengenai hal ini sudah dipublikasikan pada jurnal-jurnal kedokteran, sebagian besar dipublikasikan awal tahun 1920-an sampai 1940-an. Selain itu, penyuntikan darah atau komponen otologous pada subkutan atau intramuskular juga sering dibicarakan, tanpa merujuk langsung pada otohemoterapi.

Otohemoterapi bukan terapi alternative. Beberapa tulisan berkenaan dengan  hal ini sudah dipublikasikan di jurnal American Medical Association. Salah satunya dipublikasikan pada tahun 1938, yang mendukung penggunaan otohemoterapi untuk psoriasis dan beberapa penyakit lainnya.

Otohemoterapi juga diusulkan sebagai tindakan pencegahan. Misalnya, suatu laporan tahun 1935 mengungkap manfaat tindakan ini, untuk mencegah perdarahan serebral. Dalam laporan itu terlihat bahwa otohemoterapi bisa dijadikan tindakan pencegahan pada kasus-kasus tekanan darah tinggi, karena faktor keturunan.

Otohemoterapi memberikan manfaat melalui pembentukan antigen di dalam darah, yang menstimulasi produksi antibodi ketika disuntikkan ke dalam jaringan. Hal ini didukung penelitian oleh Dr. E. C. Rosenow (Mayo Foundation, 1915-44), yang menemukan adanya organisme kausatif atau antigen dalam darah, selama tahapan proses penyakit. Karena itu, kerja otohemoterapi bisa dikatakan sebagai vaksin otogenous. Dalam berbagai publikasi, dosis yang diberikan antara 3 sampai 10 cc dengan frekuensi pemberian dua kali seminggu. Karena terapi ini terbilang aman dan murah, terapi ini bisa digunakan untuk berbagai penyakit, di mana organisme penyebab penyakit menyebar melalui aliran darah, seperti malaria, ebola dan AIDS.