Ethicaldigest

“Produk Herbal Indonesia Berpotensi Mendunia”

Dalam beberapa dekade terakhir, pasar obat di Indonesia diramaikan oleh obat-obatan herbal terstandar. Sebenarnya, obat herbal bukan hal baru bagi masyarakat kita. Tapi, obat herbal lokal yang  saintifik, didukung bukti-bukti ilmiah masih sangat jarang. Baru beberapa perusahaan lokal yang mengembangkan obat herbal.

Ketertarikan Dr. Raymond  R Tjandrawinata pada obat herbal dan upayanya mengembangkan obat herbal local, menempatkannya menjadi salah satu peneliti di Dexa Laboratories of Biomolecular Science, unit riset PT Dexa Medica.. Berikut petikan wawancara Vitra Hutomo dari ETHICAL DIGEST dengannya:

Dalam beberapa dekade terakhir, banyak perusahaan memroduksi obat herbal. Adakah  hubungannya dengan tren back to nature di dunia saat ini?

Sebenarnya, pengobatan herbal bukan baru-baru ini saja diketahui. Sejarah kedoteran menunjukkan, obat yang digunakan berasal dari bahan alami, terutama herbal. Pada zaman dulu, seorang dokter meresepkan dan meracik obat herbal. Kemudian, bersamaan dengan ditemukannya penisilin, ternyata senyawa itu bisa dianalisa dan diketahui komposisinya. Dari situlah kita mendapatkan obat-obatan modern, yang sebenarnya merupakan senyawa sekunder metabolit dari herbal. Contohnya aspirin dari salicylic alba.

Kini semakin banyak orang yang kembali lagi pada obat herbal  dibandingkan obat kimia. Memang, lebih banyak riset dilakukan pada obat herbal belakangan ini. Dan ternyata, perusahaan besar pun mulai melirik produk herbal. karena mereka mulai kekeringan portopolio daripada produk yang akan diluncurkan di kemudian hari. Satu paper mengenai senyawa-senyawa dalam herbal memperlihatkan, sebenarnya jumlah senyawa dalam satu herbal itu banya. Otak manusia dan komputer tidak bisa mengimbangi. Kemungkinan herbal untuk dijadikan obat, menjadi lebih besar. Disamping itu, orang merasa obat dari herbal atau natural relative lebih aman, walau  penelitian kami menunjukkan bahwa tidak semua obat herbal aman bila tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Obat yang berasal dari alam biasanya lebih murah, apalagi yang dari Indonesia. Bahan bakunya tidak harus diimpor, dan tidak bergantung dari fluktuasi valuta asing. Dan saya rasa, yang lebih penting lagi bahwa obat herbal Indonesia secara tradisional sudah digunakan oleh nenek moyang kita secara turun-temurun selama berabad-abad. Tradisi ini jangan dihilangkan. Hanya saja, bagaimana memberikan ciri khas saintifik pada obat herbal, agar secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan. Kita ini kan dalam rangka evidence based medicine atau pengobatan berbasis bukti. Obat herbal modern harus dibuat secara farmakologis modern, dengan dilakukan uji klinik mau pun supra klinis.

Bagaimana penerimaan dokter Indonesia terhadap obat herbal?

Mengintroduksi obat herbal pada dokter memang agak lama, tapi dokter akan percaya kalau kita punya data lengkap. Dari awal, produk herbal kita itu dilakukan penelitian preklinis, dilakukan penelitian farmakologis pada hewan, kemudian dilakukan penelitian toksikologis akut dan sub kronis pada hewan. Lalu, dilakukan farmakologi modern molekuler farmakologis dan terakhir dilakukan uji klinis. Ini dilakukan pada semua produk herbal yang sudah terstandarisasi. Terstandarisasi itu penting, mulai dari bahan baku, cara pembuatan ekstrak sampai desain pembuatan produk. Jadi harus dilakukan dengan standar, secara tepat dan divalidasi dengan baik. Kalau sudah ada dasar ilmiahnya, dokter tidak akan takut meresepkan.

Apakah produk-produk herbal yang Anda kembangkan, sudah melalui penelitian fase III?

Sampai fase III. Kami misalnya meluncurkan stimuno pada tahun 2000. Produk ini sudah melalui penelitian fase III, pada 16 uji protokol. Beberapa obat herbal yang sedang kami kembangkan, tengah menjalani uji fase III. Kami telah meluncurkan Inlacin, Disolf dan Valicaps. Produk keempat yang akan datang untuk PMS (premenstrual syndrome). Semua produk yang di-launching sudah melalui penelitian fase III.

Bagaimana pengembangan obat herbal secara umum di Indonesia?

Pengembangan obat herbal lokal di Indonesia, sebagain besar masih bersifat jamu. Artinya, menurut BPOM, berdasarkan klasifikasinya jamu itu asal tidak toksik boleh diberikan pada masyarakat. Tidak banyak dari produk itu yang sudah naik statusnya menjadi fitofarmaka atau obat herbal berstandar. Menurut saya, penelitain banyak dilakukan sebatas di universitas tapi belum diangkat lebih lanjut pada farmakologi modern atau melalui uji klinik. Peluang melakukan riset di Indonesia, masih sangat besar.

Bagaimana potensi obat herbal di Indonesia?

Pemikiran kami, Indonesia sangat kaya akan bahan baku. Indonesia juga kaya akan talenta ilmuwan. Dengan teknologi modern yang dimiliki, kita bisa memadukan antara dua hal tersebut. Juga komitmen dari managemen untuk mengembangkan obat herbal. Dengan demikian, kita bisa menskrin dengan prinsip yang disebut DPISA, memadukan antara fitokimia dengan farmakologi molekuler untuk menapis bahan-bahan obat herbal yang bisa dijadikan obat. Misalnya, satu produk untuk diabetes, isinya ada dua yaitu cinamomum burmanii dan lagerstroemia speciosa. Keduanya kalau diganbungkan mendapatkan hasil yang baik secara ekspresi gen untuk diabetes.

Bahan-bahan herbal apa lagi yang potensial untuk pengobatan diabetes?

Yang secara portensial banyak digunakan bermacam-macam, ada sambiloto, pare, mimba, kumis kucing dan mahkota dewa. Banyak sekali di Indonesia yang bisa bersifat antidiabetes. Kami tidak menemukan bahwa herbal tertentu adalah antidiabetes yang kuat. Misalnya, dipakai ekstra mimba. Memang oke, gula darahnya turun, tapi hanya seminggu. Seminggu-dua minggu kemudian, gula darah pasien naik lagi. Berarti mimba tidak punya efek yang panjang. Apakah bersifat antidiabetes? Ya, punya efek antidiabetes. Tapi potensinya dan masa kerjanya kalah dibandingkan bioactive fraction DLBS 3233, yang terdiri dari cinamomum burmanii dan lagerstroemia speciosa.

Sudah berapa banyak pasien yang mendapatkan Inlacin?

Inlacin sudah diresepkan terhadap 6000 pasien di Indonesia, sejak awal Mei 2011. Sedang dilakukan penelitian di empat daerah, yaitu Bali (sudah selesai dengan Prof. Ketut Swastika), Surabaya, Jakarta dan satu lagi di Yogyakarta.

Terapi dengan Inlacin sebagai terapi tambahan atau utama?

Terapi utama. Kami mempunyai bioactive fraction, hanya 50mg satu kali sehari untuk monoterapi pada pasien diabetes cukup. Kalau kita lihat produk-produk herbal lain, dosisnya harus tinggi kadang sampai 500mg sampai 1 gram sehari, terdiri dari 5 herbal dan sebagainya. Inlacin terdiri dari bioactive fraction, bukan ekstrak. Bedanya, bioactive fraction adalah ekstrak yang sudah dibersihkan. Dengan begitu, kita sudah meningkatkan potensiasi dari efek antidiabetesnya. Juga sudah mengurangi efek samping dari bahan-bahan lain.

Kami juga telah meluncurkan Valicaps, untuk kanker payudara. Juga sudah diluncurkan Disolf, terbuat dari bioactiove protein fraction dari lumbricus, yang digunakan sebagai pengencer darah dan pengobatan trombosis. Yang akan datang adalah pengobatan untuk PMS. Dilakukan juga penelitian untuk antialergi dan sebagainya. Termasuk melakukan penelitian terhadap beberapa kanker seperti kanker serviks, dan BPH (benign prostatic hyperplasia).

Mengenai standarisasi, sudah dibuka lahan guna mendapatkan bahan baku terstandar?

Kalau standarisasi bahan baku belum dilakukan.  Yang sudah dilakukan, bahan baku yang diterima harus standarisasi menurut cara kami. Bahan baku yang tidak memenuhi sarat untuk jadi produk, akan ditolak. Kalau memenuhi persaratan, dilanjutkan proses selanjutnya.

Dari mana bahan baku berasal?

Tidak tentu. Nah, ini penting. Ada daerah tertentu yang memiliki bahan baku yang baik, untuk produk tertentu. Bahan baku untuk produk tertentu itu, hanya dari daerah Jawa Barat yang bagus. Dari daerah lain tidak.

Saat ini, banyak produk herbal dari luar, seperti ecinacea dan ginseng yang mendunia. Mungkinkah produk herbal lokal mendunia?

Besar sekali kemungkinannya . Produk-herbal Indonesia sebenarnya bisa mendunia. Sebut saja, misalnya, temu lawak. Temu lawak itu besar sekali potensinya. Itu tanaman asli Indonesia. Kami baru mempelajari bahwa itu dibesarkan oleh orang Korea, bahkan menjadi suplemen di sana. Kenapa tidak dibesarkan oleh orang Indonesia sendiri? Di korea ada pasta gigi, kosmetik untuk kebersihan mulut dan obat-obatan, semuanya dari temu lawak, tanaman asli Indonesia. Sebenarnya potensi pasar obat herbal indonesia besar sekali di dunia. Kita hanya harus melihat kualitas bahan, juga studi-studi yang sudah dilakukan.