Ethicaldigest

Obat IBS Konstipasi dan Diare 2

Agen-agen yang bekerja pada reseptor 5-hydroxytryptamine

Berbeda dengan ADT dan SSRIs, obat-obatan ini memodulasi transmisi 5-hydroxytryptamine (5-HT) secara langsung, dengan berikatan terhadap reseptor 5-HT. subtipe reseptor 5-HT1, 5-HT3, dan 5-HT4 berperan penting pada fungsi motorik, sensorik dan sekresi saluran cerna. Pelepasan 5-HT usus, dihubungkan dengan kontraksi otot halus, peningkatan sekresi luminal dan penurunan waktu transit saluran cerna. Menghambat reseptor 5HT3, dengan antiemetic, seperti ondansetron dapat menyebabkan konstipasi. Maka saat ini antagonis reseptor 5-HT3, seperti alosetron and cilansetron, sedang dikembangkan dan diujikan pada penderita IBS diare dalam dekade terakhir.

Suatu tinjauan sistematik dan metaanalisa, mengidentifikasi 11 penelitian acak terkontrol yang membandingkan dua antagonist 5-HT3 dengan plasebo. Agen-agen ini efektif pada IBS, dengan NNT untuk antagonis 5-HT3 dalam menyembuhkan atau memperbaiki gejala IBS satu dari tujuh pasien. Efikasi yang setara ditunjukkan oleh alosetron dan ilansetron. Namun, ada laporan efek samping serius yang jarang berupa kolitis iskemik dan konstipasi berat, menyebabkan alosetron ditarik oleh FDA dan pemasaran cilansetron ditunda.

Ligand terhadap reseptior 5-HT4 memiliki efek prokinetik, dan telah dievaluasi di dalam pengelolaan IBS konstipasi. Salah satu agennya adalah tegaserod, suatu agonist parsial pada reseptor 5-HT4. Suatu tinjauan sistematik dan metanalisa mengidikasikan bahwa tegaserod lebih baik dari plasebo pada IBS. Sebagian besar penelitian yang menggunakan tegaserod, melibatkan wanita. Karena itu, obat ini awalnya disetujui untuk digunakan pada wanita dengan IBS konstipasi. Meski demikian, pemasaran tegaserod ditunda, ketika ada laporan peningkatan penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.

Probiotik

Data penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan, probiotik bermanfaat pada penderita IBS. Ada perubahan-perubahan yang terjadi pada komposisi bakteri usus, pada penderita IBS. Dan, penelitian-penelitian pada murine menunjukkan adanya peningkatan hipersesitifitas viseral dan penurunan kontraktilitas otot pasca infeksi. Mengonsumsi probiotik disinyalir bisa memperbaiki komposisi bakteri dalam usus. Probiotik juga memiliki pengaruh pada respon imun pasca infeksi, sebagaimana ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar sitokin dalam darah. Maka, jelas bahwa dengan mengubah komposisi bakteri usus, probiotik dapat menghilangkan gejala dengan menurunkan kadar inflamasi dan menurunkan hipersensitifitas viseral.

Penelitian acak terkontrol terbesar saat ini, membandingkan Bifidobacterium infantis 35624 dalam kapsul dengan plasebo. Peneliti melaporkan manfaat yang signifikan secara statistic, dari B. infantis pada dosis 108 colony forming units (CFU) pada nyeri perut, tenesmus, kembung dan mengejan pada akhir penelitian. Diketahui, dosis 106 dan 1010 CFU tidak lebih baik dibanding plasebo, meski karakteristik pelarutan kapsul pada dosis terakhir suboptimal.

Suatu tinjauan sistematik terbaru dan meta analisa mengidentifikasi 19 penelitian acak terkontrol, yang melaporkan efek probiotik pada gejala IBS. Ketika data dari 10 penelitian acak terkontrol yang melaporkan efek probiotik sebagai outcome dikotomi dianalisa, probiotik lebih baik dibanding plasebo, dengan NNT untuk perbaikan dan kesembuhan adalah satu dari empat pasien.

Antibiotik

Sejumlah penelitian acak terkontrol, telah menilai efek antibiotik pada gejala IBS. Rifaximin telah mendapat perhatian di tahun-tahun terakhir. Obat ini kurang dapat diserap, sehingga bioavailbilitasnya di luminal tinggi, dengan sedikit efek samping. Efikasi rifaximin pada penderiya IBS non konstripasi, telah dievaluasi di tiga penelitian acak terkontrol berskala besar yang melibatkan 1200 pasien. Rifaximin dihubungkan dengan proporsi responder, terhadap terapi yang lebih tinggi secara signifikan, dibanding plasebo. Selain itu, berkurangnya kembung dilaporkan pada 40% pasien yang mendapatkan pengobatan aktif dibanding 30% pada kelompok plasebo. Manfaat ini menetap selama 10 minggu periode follow up, menunjukkan pengobatan dengan rifaximin dapat mengubah perjalanan alamiah kondisi ini, dalam jangka pendek.

Diperkirakan efek manfaat rifaximin dalam penelitian ini, disebabkan efek antimikrobial yang dimiliki dalam mengobati disbiosis usus. Meski demikian, bukti konfirmasi tentang adanya SIBO dan angka eradikasi dari pengobatan belum dilaporkan. Yang perlu dicatat, satu penelitian sebelumnya telah menunjukkan munculnya kembali gejala IBS dan SIBO (sebagaimana dinilai dengan uji nafas hidrogen di bulan ke 3, 6, dan 9), setelah menggunakan rifaximin. Hal ini menunjukkan, efek manfaat yang muncul sebagai konsekuensi eradikasi SIBO tidak bisa dipertahankan dalam jangka panjang.

Obat-obatan yang memodifikasi reseptor nyeri

Hipersensitifitas visceral diduga merupakan faktor etiologis pada IBS. Salah satu cara memperbaiki gejala adalah memodulasi reseptor rasa sakit di saluran cerna. Pregabalin dan gabapentin adalah obat-obatan, yang dipercaya data menghambat rasa sakit melalui sub unit α2δ dari voltage-gated calcium channels. Keduanya sudah diteliti dalam penelitian acak terkontrol berskala kecil. Pregabalin lebih efektif daripada placebo, berkenaan dengan meningkatnya nilai ambang sensor untuk persepsi distensi rektum, keinginan defekasi dan nyeri rektium. Penggunaan pregabalin juga menunjukkan tren perbaikan skor nyeri harian rata-rata, selama 3 minggu terapi. Pasien yang diobati dengan gabapentin, menunjukkan peningkatan komplian rektum secara signifikan dan nilai ambang sensor yang lebih tinggi untuk kembung, rasa tidak nyaman dan nyeri, selama 5-hari periode pengobatan.

Beberapa terapi baru

Penelitian intensif dengan mengendepankan patofisiologis penyakit, menuntun dikembangkannya sejumlah terapi molekuler baru yang bekerja secara selektif pada reseptor hormon, kanal klorida, reseptor 5-HT, dan reseptor guanylate cyclase-C dalam mukosa saluran cerna.

Cholecystokinin (CCK) dan corticotropin releasing factor (CRF) adalah hormon yang terimplikasi, dalam kontrol motilitas saluran cerna. Dengan memanipulasi hormon ini, gejala bisa diperbaiki. Efek pemberian dexloxiglumide, suatu antagonis reseptor CCK-1, selama 7 hari telah dipelajari pada pasien wanita IBS konstipasi. Bagaimana pun, obat ini tidak berefek pada waktu transit di kolon. Meski begitu, jumlah pasien yang melaporkan penurunan gejala lebih banyak pada mereka yang menggunakan dexloxiglumide, dibanding plasebo (39% versus 11%), walau perbedaan ini tidak signifikan secara statistik.

Kanal klorida berperan penting pada transportasi cairan dalam slauran cerna. Lubiprostone, suatu derifat prostaglandin E1 yang mengaktifkan kanal klorida epitel, memicu sekresi cairan yang kaya klorida ke dalam lumen saluran pencernaan. Hal ini melunakkan feses dan meningkakan motilitas usus. Obat ini juga diketahui efektif pada chronic idiopathic constipation (CIC), dengan onset kerja yang cepat. Efek samping (terutama mual dan sakit kepala) umum terjadi, terutama ketika digunakan dalam dosis besar.

Setelah dilakukan penelitian fase 2 lubiprostone pada penderita IBS konstipasi, dua penelitian fase 3 selama 12 minggu dilakukan dengan melibatkan 1000 pasien, yang memenuhi kriteria  Rome II. Saat data dari dua penelitian dikumpulkan, lubiprostone memiliki angka responder yang lebih tinggi dibanding plasebo (18% versus 10%). Perbaikan signifikan pada konsistensi feses, mengejan dan keparahan konstipasi, juga teramati dalam 3 bulan pengobatan. Efek sampingnya mencakup mual dan diare.

Obat IBS Konstipasi dan Diare 1