Ethicaldigest

Obat IBS Konstipasi dan Diare 1

Dr. Marcellus Simadibrata Sp.PD-KGEH dari Departemen Penyakit Dalam RSCM menegaskan, pengobatan IBS dilakukan berdasarkan berat ringannya penyakit. “Pasien dengan gejala IBS ringan, kadang-kadang hanya butuh pengaturan pola makan dan reassurance (nasihat atau edukasi),” katanya. Tetapi, pasien dengan gejala konstan berat, memerlukan obat antidepresan, terapi psikologis dan follow up pengobatan yang sering.

Pada pasien dengan gejala ringan atau gejala jarang timbul, merupakan jenis pasien yang terbanyak dan paling banyak ditemukan di pelayanan primer. Pengobatannya dengan memberikan edukasi setelah evaluasi yang tepat, dan menganjurkan pasien untuk menjalani pola hidup sehat.

Pada pasien dengan gejala sedang, pengobatan harus mencakup pengobatan simtomatik, pengobatan farmakologis dan/atau terapi posikologis. Pasien harus mencatat kegiatan sehari-hari, diet dan faktor lain (stress, gangguan tidur) yang berhubungan dengan gejalanya. Pengobatan farmakologis ditujukan untuk mengatasi nyeri/kembung abdomen, diare atau konstipasi. Terapi psikologis berupa penatalaksanaan relaksasi/stress, pengobatan kognitif-behavioral dan hypnosis.

Sedangkan pada pasien dengan gejala berat, pengobatan yang diberikan merupakan gabungan antara terapi psikologis, farmakologis dan psikofarmakologis. Antidepresan dapat membantu mengurangi gejala nyeri, diare dan gangguan psikiatri.

Terapi Psikologis

Peningkatan morbiditas psikologis telah ditemukan pada penderita IBS, yang mencakup ansietas, gangguan mood dan neuroticism. Hal ini membuat para peneliti mencoba mencari terapi psikologis pada IBS. Suatu tinjauan sistematik dan metanalisa dalam bidang ini, telah dilakukan terhadap 20 penelitian acak terkontrol, melibatkan hampir 1300 pasien, yang secara acak kepada diberikan terapi psikologis atau terapi kontrol.

Bukti paling kuat mengenai manfaat terapi psikologis, didapatkan dari terapi perilaku kognitif dengan NNT sebesar tiga. Hipnoterapi memiliki NNT sebesar dua, terapi psikologis multikomponen memiliki NNT sebesar empat, dan psikoterapi dinamik  memiliki NNT sebesar 3,5, yang mana lebih baik dari terapi kontrol. Meski demikian, jumlah total pasien yang dilibatkan dalam tiga penelitian terakhir berukuran kecil. Selain itu, heterogenitas signifikan tampak ketika semua penelitian dikumpulkan, dan mayoritas penelitian menggunakan kualitas metodologis yang rendah, dengan melibatkan sampel yang kecil.

Terapi Farmakologis

Sampai saat ini, pengobatan terhadap penderita IBS hanya difokuskan pada mengurangi gejala, bukan menyembuhkan penyakit. Sebagaimana disampaikan Prof. dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD-KGEH, Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, pengobatan IBS tergantung pada gejala yang menonjol. “Kalau yang menonjol diare, pengobatannya adalah menghentikan diare. Kalau yang menonjol konstipasi, pengobatannya adalah mengatasi konstipasi,” kata Prof. Lukman.

Pada penderita yang mengalami keluhan konstipasi, langkah pertama pengobatan adalah dengan meningkatkan konsumsi serat untuk mempermudah defekasi, walau ada kekhawatiran serat yang tidak larut dapat memperparah gejala. Alternative lain adalah dengan laksatif osmotik dan ransapride, yang dapat meningkatkan transit kolon, memperbaiki konsistensi feses dan meningkatkan frekuensi buang air besar.

Sementara, pada penderita dengan IBS tipe diare, pengobatannya adalah dengan obat antidiare. Antara lain dengan loperamide, diphenoxylate atau cholestyramine atau antagonist 5HT3. Obat lainnya: Crefelemer, yang merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi klorida; R-verapamil yang merupakan salah satu obat calcium channel antagonist yang dapat mengurangi diare; corticotrophin releasing factorb(CRF) antagonist yang dapat mengurangi peningkatan nyeri abdomendan ansietas, yang dicetuskan stimulasi elektrik pada rektum.

Antidepresan

Antidepresan trisiklik (ADT), efektif dalam pengobatan nyeri kronis. Sebab itu, obat-obatan ini mungkin memiliki efek pada IBS, melalui penurunan hipersensitifitas viseral. Di tingkat molekuler, ADT menghambat ambilan kembali serotonin dan norepinephrine, sehingga meningkatkan bioavailbilitas dari neurotransmitter ini dalam celah sinapsis. Obat ini juga mengantagonis reseptor asetilkolin muskarinik. Efek pada muskarinik inilah yang yang bertanggung jawab atas efek samping yang ditimbulkannya, mencakup konstipasi, mulut kering, dan penglihatan kabur.

Namun, perlambatan transit saluran cerna bisa menjadi keunggulan terapeutik pada IBS yang predominan diare. Sedangkan, selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) hanya mencegah ambilan kembali serotonin. Serotonin bekerja sebagai suatu sekretagog, dan cenderung menstimulasi motilitas saluran cerna. Karena itu, SSRI mungkin bermanfaat pada mereka dengan IBS yang predominan konstipasi. Antidepresan tampak lebih efektif dari placebo, dalam mengobati pasien dengan IBS. Suatu tinjauan sistematik dan meta analisa melaporkan bahwa obat ini bisa mencegah gejala IBS persisten, pada satu orang dari empat pasien. Tidak ada efek samping serius akibat penggunaan obat-obatan antidepresan, walau efek sampingnya sedikit lebih tinggi dibanding plasebo (sebagian besar berupa mengantuk dan pusing). Penelitian-penelitian yang ada mengevaluasi beberapa obat ADT, seperti amitriptyline, doxepin, dan desipramine, serta SSRI seperti fluoxetine, citalopram, dan paroxetine. Ada tiga penelitian yang dipublikasikan, sejak meta analisa ini dilaporkan, tetapi hasilnya bertentangan. Dua penelitian melaporkan manfaat ADT dan SSRI. Sementara, penelitian ketiga tidak melaporkan manfaat SSRI. Meski demikian, ketika hasil dari ketiga penelitian itu disatukan dengan meta analisa sebelumnya, manfaat ADT dan SSRI adalah serupa.