Ethicaldigest

IBS dan Dispepsia Fungsional 2

Patofisiologi

Baik dispepsia fungsional mau pun IBS, mempunyai patofisiologi yang sangat kompleks. Yaitu, mulai dari gangguan fungsi motorik gastrointestinal, sensitifitas viseral, post infeksi sampai faktor gangguan psikososial. Hal ini dapat digambarkan dalam suatu model, yang berdasarkan mekanisme bio-psiko-sosial.

Gangguan fungsi motorik gaster, banyak dilaporkan pada kasus dispepsia fungsional. Termasuk adanya perlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum dan kegagalan dalam akomodasi fundus waktu makan. Meski demikian, ternyata kasus dispepsia murni dibandingkan kasus dengan overlap dispepsia fungsional dan IBS, tidak rnempunyai perbedaan  bermakna dalam gangguan perlambatan pengosongan lambung.

Pada IBS, terdapat masa transit usus yang abnormal, menjadi lebih cepat pada IBS tipe diare dan menjadi lebih lambat pada IBS tipe konstipasi. Pada pemeriksaan manometri kolon, terdapat hubungan erat antara keluhan perut dengan respon motorik akibat makanan tinggi lemak, distensi ileum atau pemberian cholecystikmnin (CCK ).

 Pada penelitian kasus IBS, di mana 66% peserta mengalami keluhan dispepsia fungsional, ternyata hanya kelompok overlap yang terdapat perlambatan pengosongan larnbung. Bahkan pada kasus dispepsia fungsional dilaporkan ada gangguan transit oro-caecal, usus halus dan kolon.

Baik pada kasus dispepsia fungsional mau pun pada IBS, didapatkan keluhan yang dicetuskan setelah makan. Hal ini berhubungan dengan pelepasan CCK setelah makan. Adanya peningkatan sensitivitas viseral atau rendahnya ambang rangsang nyeri, merupakan hal yang banyak dilaporkan pada kasus dengan gangguan gastrointestinal fungsional. Pada kasus kombinasi dispepsia fungsional dan IBS, mempunyai ambang rangsang yang lebih rendah pada pemeriksaan barostat balon dibandingkan dispepsia fungsional saja. Kasus dengan kombinasi keluhan dispepsia fungsional dan IBS mernpunyai hipersensitivitas viseral sebesar 44%, dibandingkan dispepsia fungsional yang sebesar 28%.

Pasca infeksi akut tampaknya juga rnerupakan salah satu patogenesis gangguan gastrointestinal. Infeksi Helicobacter pylori tampaknya hanya berhubungan dengan keluhan dispepsia. Pada 26% kasus, 6 bulan pasca infeksi saluran cerna akut muncul keluhan IBS. Bahkan pada pengamatan setelah 6 tahun, 4%kasus tetap mempunyai keluhan tersebut.

Gangguan psikiatri dan psikologik, terrnasuk di dalamnya kecemasan neurosis dan somatosasi, banyak dilaporkan terjadi pada kasus dispepsia fungsional dan IBS. Tetapi sulit untuk mengatakannya sebagai hubungan kausatif.

Respon terhadap terapi

Gangguan gastrointestinal fungsional sulit diatasi, karena tidak ada etiologi tunggal. Karenanya pengobatan diarahkan pada bagaimana mengurangi gejala yang muncul. Tujuan terapi adalah mengurangi nyeri perut pasien dan rasa tidak nyaman. Target berikutnya adalah memperbaiki konstipasi, kembung, diare dan urgensi pada pasien dengan IBS, serta memperbaiki kembung dan rasa penuh di perut bagian atas, pada pasien dengan dispepsia.

Dengan menimbang faktor patogenesis yang banyak kemiripan, diperkirakan terdapat obat-obatan yang dapat digunakan untuk kedua penyakit ini. Obat prokinetik yang mempunyai khasiat untuk saluran cerna bagian atas dan bawah, mungkin dapat bernanfaat untuk kasus dispesia fungsional maupun IBS tipe konstipasi, yang mengalami transit kolon yang lambat.

Obat jenis serotonergik selektif, secara teori, dapat menanggulangi gangguan akomodasi gaster pada dispesia fungsional, juga memperbaiki transit kolon (mungkin juga persepsi viseral) pada IBS. Demikian pula pemakaian anti depresan untuk nyeri abdomen atas dan bawah, dengan pertimbangan adanya faktor komorbid psikiatri pada kasus dispepsia fungsional dan IBS.

Tegaserod, suatu agonist 5-HT4, efektif mengurangi rasa skait di abdomen, kembung dan konstipasi pada pasien IBS. Tegaserod adalah kandidat menjanjikan untuk pengobatan dispepsia. Obat ini menunjukkan dapat meningkatkan komplian gastrik saat puasa, dan postprandial pada pasien dispepsia. Dan dosis tegaserod yang lebih tinggi dari yang disetujui untuk pengobatan IBS (6 mg tiga kali sehari dan 12 mg dua kali sehari), dapat memperbaiki pengosongan lambung pada pasien dengan gejala dispepsia. Namun, masih dibutuhkan evaluasi lebih jauh pada populasi penderita dispesia dalam jumlah yang lebih besar.

Obat-obatan yang saat ini sedang dikembangkan untuk pengobatan kedua gangguan saluran cerna ini, mencakup antagonis yang mentargetkan NMDA (N-methyl-D-aspartate), neurokinin, dan cholecystokinin (CCK). Glutamate dan aspartate adalah dua asam amino eksitatori yang terlibat dalam proses munculnya respon nyeri di tulang belakang. Pelepasan asam amino ini menyebabkan eksitabilitas neuronal dan sensitisasi, melalui reseptor NMDA. Menghambat reseptor NMDA dapat menurunkan atau mencegah transmisi stimulus rasa sakit, di dorsal horn tulang belakang. Reseptor neurokinin (subklas NK1, NK2, dan NK3) terlibat dalam sensitifitas visceral. Antagonist reseptor neurokinin dapat menurunkan transmisi pada aferen sensori visceral, karenanya dapat memodulasi sensasi rasa sakit dari saluran cerna. Cholecystokinin, suatu neuropeptide, dilepaskan oleh sel di dalam duodenum dan jejunum sebagai respon terhadap infuse nutrient. Cholecystokinin ditengarai berperan dalam gastrocolic reflex, yang kadang kala berlebihan pada pasien IBS. Menghambat reseptor CCK, membantu menekan reflex ini.

IBS dan Dispepsia Fungsional 1