Ethicaldigest

Staphylococcus aureus 2

Sebagian dari staphylococcus akan menghasilkan mikrokapsul. Dan hingga saat ini sudah ada sekitar 11 serotipe polisakarida mikrokapsular yang telah dapat diidentifikasi, dimana tipe-5 dan 8 merupakan bagian terbesar atau sekitar 75% dari infeksi yang terjadi pada manusia. Serta dikatakan juga bahwa sebagian besar isolate MRSA adalah tipe-5.

Beberapa permukaan protein akan berikatan dengan molekul matriks ekstraselular yang dikenal sebagai Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMM). Protein-protein ini mempengaruhi kemampuan staphylococcus dalam koloniasasi jaringan hospesnya.

Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin yang berkelompok sesuai dengan mekanisme kerjannya, antara lain sitokin, superantigen toksin pirogenik, enterotoksin, dan toksin eksfoliatif. Sitokin merupakan toksin 33-kd protein alpha, yang selanjutnya akan mengakibatkan perubahan formasi inti dan merangsang proliferasi pada sel mamalia. Perubahan ini kemudian akan menimbulkan kerusakan sel dan juga berperan dalam manifestasi sindroma sepsis. Superantigen toksin pirogenik secara struktur mirip dengan sitotoksin, terikat dengan protein Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Toksin ini menyebabkan proliferasi sel T dan pelepasan sitokin.

Molekul enterotoksin dapat menimbulkan penyakit akibat dari protein-proteinnya, yaitu toxic shock syndrome dan keracunan makanan. Gen untuk toxic shock syndrome ditemukan pada 20% isolate S. aureus. Toksin eksfoliatif, termasuk juga toksin epidermolitik A dan B menyebabkan eritema dan separasi kulit seperti yang terlihat pada scalded skin syndrome. Staphylococcus menghasilkan berbagai macam enzim, seperti; protease, lipase dan hilauronidase. Enzim-enzim inilah yang membantu penyebaran infeksi pada berbagai jaringan walaupun perannya dalam pathogenesis penyakit belum dapat diterangkan dengan jelas.

Epidemiologi dan Pathogenesis

Manusia merupakan koloni alamiah dari S. aureus. Sebanyak 30-50% manusaia dewasa sehat terkolonisasi bakteri ini, dan sebesar 10-20% terkolonisasi secara presisten. Pada seseorang yang terkolonisasi S. aureus akan terjadi peningkatan risiko untuk mendapatkan infeksi lain. Rerata kolonisasi staphylococcus tertinggi terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus type 1, pengguna obat-obatan intravena, individu menjalani hemodialisis rutin, individu yang menjalani pembedahan, penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), sirosis hati dan pada individu dengan defek pada kualitas dan kuantitas leukosit.

Menurut Prof. Amin, selama kurang lebih 20 tahun ini, jumlah infeksi staphylococcus baik itu yang Community-Acquired maupun Hospital-Acquired telah mengalami peningkatan. Kondisi ini sejalan dengan semakin banyaknya penggunaan alat-alat intravaskuler (Steinberg, et al 1996). Selama tahun 1990 sampai dengan tahun 1992, S. aureus merupakan penyebab tersering dari kasus pneumonia nosokomial dan infeksi luka operesi, serta dikatakan sebagai penyebab kedua tersering pada kejadian spetikemia nosokomial.

Staphylococcus yang bersirkulasi akan menempel pada endovaskuler yang rusak dimana sebelumnya telah terbentuk Platelet Fibrin Thrombi (PTF), yang melalui mekanisme ikatan MSCRAMM. Dilain pihak staphylococcus juga dapat menempel pada sel endothelial secara langsung melalui interaksi adhesion-receptor atau melalui ligan-ligan diantaranya fibrinogen.  Setelah terjadi fagositosis oleh sel endothelial, staphylococcus akan menguraikan enzim proteolitik yang kemudian akan membantu penyebaran ke jaringan dan melepaskanya ke aliran darah. Tissue factor yang terekspresi oleh sel endothelial terinfeksi akan merangsang deposisi fibrin dan formasi dari vegetasi. Selanjutnya sel endothelial akan mengekspresikan Fc dan molekul adhesi (vascular cell adhesion molecules) VCAM dan intercellural adhesion molecules (ICAM) dan juga melepaskan interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan IL-8. Sebagai hasilnya, leukosit akan melekat pada sel endothelial kemudian menuju ke tempat infeksi dengan gerak diapedesisnya.

Perubahan pada formasi sel endothelial akan menimbulkkan peningkatan permeabilitas vaskuler dengan transudasi dari plasma protein. Makrofag dan monosit akan melepaskan IL-1, IL-6 dan IL-8 dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) setelah terpapar oleh staphylococcus. Aktifasi makrofag terjadi setelah dilepaskanya Interferon-g (INF-g) oleh sel T. Sementara sitokin dilepaskan ke dalam aliran darah dari monosit atau makrofag yang sama seperti pada sel endothelial, yang selanjutnya akan menimbulkan mansifestasi klinis dari sindroma sepsis dan vaskulitis yang bergabung dengan systemic staphylococcal disease.

Mekanisme resistensi antibiotic

Resistensi antibiotik merupakan kemampuan mikroorganisme untuk bertahan dari pengaruh suatu antibiotik. Maka dikatakan kondisi ini merupakan suatu tipe spesifik dari resistensi obat. Kondisi ini terjadi secara alamiah melalui seleksi alam lewat mutasi acak, atau melalui pemaksaan dengan evolusi stress pada suatu populasi. Ketika sebuah gen mengalami perubahan, maka bakteri kemudian akan mengirimkan informasi genetik secara horizontal ke bakteri lainya melalui pertukaran plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistensi disebut sebagai suatu kondisi yang multiresisten atau yang dikenal dengan istilah superbug.

Sejarah resistensi bakteri terhadap antimikroba diawali dengan ditemukannya S. aureus yang resisten terhadap penicillin pada awal tahun 1940-an. Sejak itu, resistensi tunggal mau pun multiple (multiple drugs resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di saluran cerna juga dilaporkan pada tahun 1950-an. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1970, gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di berbagai pelayanan kesehatan dan bahkan melibatkan organisme-organisme yang bersifat komensal di saluran nafas dan kemih penderita yang dirawat dirumah sakit. Dan semakin meningkat penyebarannya secara dramatik pada pertengahan tahun 1990-an. Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk diantaranya mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten, pertukaran langsung DNA, bakteriofag, maupun plasmid DNA ekstra kromosom atau pun di dapatnya DNA melalui mekanisme transformasi.